Ini cerita beberapa hari yang lalu, tiga hari sebelum Lebaran. Ceritanya bukan tentang Arza, apalagi Ariq. Tapi cerita tentang ... Thia.
Hah, Thia? Puasa setengah hari? Ditulis aja, ah, ceritanya di sini. Hahaha ....
Saat itu, kami sekeluarga sudah berkumpul di meja makan untuk siap-siap berbuka puasa.
Dug ... dug ... dug ...! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Tepat azan maghrib, kami berbuka dengan didahului membaca doa berbuka puasa. Teh manis, cake cokelat, tahu isi, dan keju aroma sudah siap disantap.
Glek! Glek! Glek! Teh manis pun meluncur di tenggorokan sebagai pembuka. Tak menunggu lama, hidangan yang lain pun langsung diserbu.
Tiba-tiba Thia berkata, "Ma, hari ini aku puasanya setengah hari, ya!"
Cleguk! Hah? Aku tercekat. Kegiatan mengunyah keju aroma langsung berhenti.
"Puasa setengah hari?"
"Iya," jawab Thia. "Tadi kepalaku pusing banget, Ma. Jadi, pas abis shalat Zuhur, aku minum obat pusing. Terus puasa lagi."
Aku bengong sebentar. Cuma sebentar, karena setelah itu aku tertawa.
"Ya, ampun, Mbak Thiaaa .... Itu artinya Mbak Thia batal puasa."
"Kok, batal, Ma? Aku, kan, cuma minum obat doang. Terus puasa lagi. Berarti aku puasanya setengah hari, dong!" kata Thia protes.
Aku kembali tertawa. Kali ini lebih keras. Gantian Thia yang bengong melihat tingkahku.
"Ya, iyalah, batal. Mana ada puasa setengah hari. Puasa itu artinya menahan semua hawa nafsu, termasuk tidak makan dan minum dari imsak sampai maghrib. Puasa setengah hari itu hanya istilah untuk anak kecil yang baru belajar puasa. kalau segede Mbak Thia, udah 13 tahun, udah baligh pula, mana ada puasa setengah hari. Kalau makan atau minum dengan sengaja ... ya, batal puasanya. Walau cuma minum obat." Aku pun kembali tertawa
"Terus, tadi aku batal puasa? Ya, kalau begitu, kan, aku enggak minum obat," katanya lagi, masih mempertahankan diakuinya puasa setengah hari.
"Iya, batal. Jadi tahun ini Mbak Thia batalnya 7 hari, ya!"
"Kok, 7 hari?" Thia masih protes.
"Lah, iya, kan? Batal 5 hari karena haid, 1 hari karena sakit maag, dan 1 hari sekarang ini ... puasa setengah harinya anak kecil. Hihihi ...."
Thia manyun. "Iya, deh! Nyesel aku tadi minum obat."
Hahaha ... jadi geli sendiri aku mendengar ucapan-ucapan Thia. Anak ini polos banget!
Aku langsung ingat awal Ramadhan, pas hari pertama masuk sekolah. Seperti biasa, aku mengantar Thia, Ariq, dan Arza ke sekolah.
Saat di mobil, aku bertanya, "Mbak Thia masih ada uang sakunya?"
Thia langsung mengambil dompetnya dan melihat isinya. "Masih ada dua ribu, Ma."
Ketika lampu lalu lintas menyala merah, aku langsung buru-buru mengambil dompetku dan memberikan uang Rp20.000,00 kepada Thia.
"Untuk apa, Ma?" Thia bengong melihat uang yang kusodorkan kepadanya. "Kan, puasa. Aku enggak jajan di kantin. Terus uangnya buat apa?"
Hadeeeuh ... anak ini. Hahaha ....
"Ini buat pegangan Mbak Thia aja. Siapa tau butuh buat fotocopy atau mau dimasukin ke kotak amal," jelasku.
"Oh, iya, deh!" Thia langsung mengambil uangnya.
Ampuuun ... perasaan anak-anak lain kalau dikasih uang pada enggak protes, deh! Lah, ini dikasih uang malah bengong, bingung, dan bertanya dengan heran ... untuk apa? Hahaha ....
Setelah selesai shalat Maghrib, aku enggak tahan untuk bercerita kepada Aik, adikku, via whatsapp.
Seperti dugaanku, adikku itu pun membalas dengan gambar emoticon yang sedang tertawa terbahak-bahak.
"Dasar, Thia!" katanya, "Emang udah turunan polos. Lo inget enggak, Mbak, sama Nina? Thia itu persis Nina. Nah, Nina, tuh, persis elo ... sama-sama polos."
Aku jadi mesem-mesem. Jelas aku ingat cerita-cerita tentang kepolosan Nina dan juga ... aku. Hahaha ....
Ya, pernah Tante Sarti, mamanya Nina, cerita kepada kami saat kumpul keluarga besar. Saat itu Nina sudah kuliah. Kalau sekarang, sih, sudah kerja di Deplu (Departemen Luar Negeri). Hebat, euy! ^_^
Nah, saat itu, Tante Sarti cerita kalau Nina minta uang kepadanya untuk membayar ujian akhir semester. Waktu itu, Om To, suaminya, masih di kantor. Sementara Nina sudah harus segera kembali ke rumah kosnya.
"Ini uangnya," cerita Tante Sarti sambil memperagakan gerakannya. "Nanti, jangan lupa bilang Papa, ya! Minta uangnya lagi sama Papa. Eh, saya pesenin begitu, Nina malah tanya, 'Kok, minta uang lagi sama Papa, Ma? Kan, udah sama Mama. Enggak boleh gitu, dong, Ma. Kan, dosa kalau udah minta sama Mama, terus minta lagi sama Papa.' Aduh! Aku, ya, mau gimana lagi? Antara mau ketawa, tapi juga gemas. Lah, kan, kalau Nina minta uangnya sama papanya lagi, berarti uangku diganti. Ini enggak mau dia. Katanya dosa." Tante Sarti tertawa sampai keluar air mata. "Aduh, Nina itu tetep kayak begitu. Polos banget! Padahal udah kuliah."
Kami yang mendengar cerita Tante Sarti ikut tertawa.
Mamaku langsung berkomentar, "Ya, itu sama aja kayak Dini, tuh!" sambil melirik ke arahku. "Waktu SMA pernah olahraga dan disuruh kumpul di Senayan. Nah, papanya tanya, 'Kumpulnya di pintu mana?' Dini jawab, 'Di pintu Senayan, Pa. Kumpul di sana.' Terus papanya bilang, 'Pintu Senayan itu banyak. Emang kita mau muter-muter cari satu-satu? Coba tanya yang benar, di pintu berapa kumpulnya?' Dini waktu itu seperti bengong, sementara papanya kelihatan gemas."
Aku tertawa mendengar cerita Mama. Iya, benar! Biarpun hampir seumur hidup aku tinggal di Jakarta (aku lahir di Surabaya dan pindah ke Jakarta ikut Mama dan Papa ketika umur 2 tahun), aku kurang tau dengan tempat-tempat di Jakarta. Waktu itu kebetulan, sekali pun aku belum pernah ke Senayan. Cuma lihat di televisi kalau ada acara-acara olahraga aja. Jadi, ya, bayanganku, Senayan itu tempatnya berbentuk lingkaran dan masuk dari satu pintu. Hahaha ....
Oh, ya, aku juga baru hafal kalau jalan dari Blok M ke arah Menteng itu lewat Jalan Sudirman dulu, baru Jalan Thamrin, pas aku udah kuliah. Sebelumnya suka terbalik-balik. Maklum, keluargaku itu jarang bepergian. Sekalinya berpergian, setiap kali berada di kendaraan, aku selalu tidur. Soalnya aku mudah mabuk. Daripada mabuk dan akhirnya mengeluarkan isi perut, aku lebih memilih untuk tidur. Hihihi ....
Ya, begitulah salah satu cerita seru Ramadhan tahun ini. Ternyata polos itu turunan, ya? Hahaha ....