Cerita Bersambung
SEPATU PINOKIO
Shinta Handini
# Bagian ke-1
Minggu pagi yang cerah. Hari ini Mama membuat sarapan istimewa, nasi goreng dengan sosis dan telur. Ditambah irisan mentimun dan tomat segar. Mama juga membuat milkshake cokelat.
Sandra yang baru selesai bermain sepeda keliling kompleks langsung menuju dapur. Harum masakan Mama menggelitik hidungnya.
“Wah, sarapan yang hebat!” Tangan Sandra bergerak untuk mencomot potongan sosis.
“Eh, sudah cuci tangan belum, Sayang?” tegur Mama.
“Hehehe ... lupa, Ma.” Potongan sosis yang sudah diincar Sandra tidak jadi diambilnya.
Mama menggeleng-gelengkan kepala seraya matanya melihat ke arah wastafel. Dengan tersenyum malu Sandra segera mencuci tangannya.
“Sudah, Ma!”
“Pintar!” puji Mama. “Ayo, sekarang habiskan sarapanmu, setelah itu kita ke rumah Nenek.”
Sandra yang gembira dan bersiap melahap sarapan paginya langsung cemberut.
“Mama ... aku enggak mau ke rumah Nenek. Pokoknya enggak mau!” protes Sandra.
“Lho, kenapa, Sandra? Nenek pasti sedih kalau kamu enggak ke rumahnya. Apalagi kamu kan, cucu kesayangan nenek.”
“Aku sebal! Nenek selalu kasih aku bakiak. Aku jadi diledekin sama teman-teman. Kata mereka,’Ih, Sandra pakai sepatu Pinokio. Sepatu kayu.’ Gitu, Maaa ....” Sandra manyun (shinta banget hihihihi). Mulutnya maju beberapa senti.
Mama yang melihat ekspresi Sandra jadi tertawa.
“Biar saja, Sandra. Lama-lama, teman-temanmu akan bosan meledek.” Mama menasihati Sandra. “Mereka itu sebenarnya kagum dengan bakiak buatan nenekmu. Zaman sekarang, susah lho, mencari bakiak seperti itu. Apalagi, buatannya halus. Nenekmu juga menghias bakiak itu dengan lukisan tangannya. Jadi terlihat indah dan modis.”
“Ih, Mama tau apa tentang modis? Bagaimanapun juga, pakai bakiak itu enggak modis, Ma. Kuno!” gerutu Sandra. “Benar kata teman-teman, bakiak itu sepatunya Pinokio.”
“Hm, coba Mama lihat. Mana bakiak pemberian nenek?”
“Enggak mauuu .... Sandra enggak mau pakai. Sandra enggak mau jadi Pinokio yang pakai sepatu kayu.”
Sandra berlari masuk ke dalam kamarnya. Mama hanya menggeleng-geleng saja melihat tingkahnya.
***
# Bagian ke-2
“Kamu sudah beli majalah Cantika yang terbaru?” Nina memperlihatkan sebuah majalah edisi terbaru kepada Sandra.
“Eh, belum. Kamu sudah beli aja. Lihat, dong!” Sandra mengambil majalah itu dari tangan Nina.
“Coba kamu lihat model bajunya. Keren! Modis banget. Aku pengin, deh, punya baju seperti itu.”
Sandra membuka halaman mode yang ditunjuk Nina.
“Wow, keren! Baju model kayak begini memang lagi nge-trend. Simple dan kelihatan kasual.”
“Coba kamu lihat aksesorinya,” tunjuk Nina. “Enggak macam-macam juga, kan? Cuma jepit atau bando sederhana.”
“Iya. Betul banget!” Sandra mengangguk setuju. “Tapi, alas kakinya. Coba, lihat! Ini kan ....” Sandra membaca keterangan yang tertulis di halaman model tersebut. “Model ini memakai kelom. Alas kakinya namanya kelom. Kok, seperti ... bakiak, ya?”
“Coba aku lihat!” pinta Nina.
Sandra menyerahkan majalah Cantika dengan halaman mode yang tetap terbuka. Nina memperhatikan alas kaki yang dipakai oleh modelnya.
“Hm, beda, dong! Di sini jelas-jelas kalau yang dipakai oleh modelnya namanya kelom, bukan bakiak. Lihat saja! Kelomnya warna-warni dan berhiaskan lukisan bunga-bunga yang cantik. Walau sama-sama terbuat dari kayu, tapi ini bukan bakiak. Kalau bakiak, kan, kuno. Cuma alas kaki kayu yang diberi penutup hitam dari karet. Terus biasanya dipakai sama nenek-nenek buat ke pasar. Kalau kita yang pakai, enggak banget, deh, pokoknya! Bakiak itu sepatunya Pinokio. Ga modis!” kata Nina panjang lebar.
“Tapi ... bakiakku seperti ini, kok! Nenekku yang buat. Seperti yang aku ceritakan waktu itu,” ucap Sandra.
“Ah, kalau bakiak, mah, tetap aja namanya bakiak. Sepatu Pinokio. Bakiak itu beda sama kelom.” Nina tetap pada pendiriannya.
Sandra tercenung. Dia tetap merasa kalau bakiak buatan neneknya itu, ya kelom itu. Memang, sih, selama ini nenek kalau membuat bakiak seperti yang dibilang oleh Nina. Cuma alas kayu yang diberi penutup hitam dari karet. Tapi khusus untuk Sandra, penutupnya berwarna biru cerah yang dilukis gambar bunga-bunga kecil warna kuning. Dalam hati Sandra sebenarnya mengakui, kalau bakiak buatan nenek khusus untuk dirinya itu cantik sekali. Tapi waktu Sandra cerita kepada Nina dan beberapa teman perempuan lainnya, mereka tidak percaya. Mereka malah mengejeknya kalau bakiak itu sepatu Pinokio. Sandra jadi malu dan tidak mau memakainya.
Teng ... teng ... teng .... Bel sekolah berbunyi.
“Masuk, yuk! Sudah bel, tuh!” ajak Nina. “Nanti pas istirahat kita kasih tau ke teman-teman lain.”
“Yuk!” sambutnya. “Sepertinya besok aku akan bawa bakiak buatan nenekku yang aku ceritakan itu.” Sandra menggumam sendiri.
Nina tidak mendengar. Gumaman Sandra tenggelam di antara keriuhan teman-teman yang masuk kelas. Mereka pun kemudian berbaur dengan teman-teman lain di dalam kelas. Siap untuk menerima pelajaran hari ini.
***
# Bagian ke-3
“Wah, keren! Ini mirip seperti yang ada di majalah Cantika yang kemarin dibawa sama Nina!” seru Gea takjub.
“Iya, keren banget! Hebat kamu sudah punya,” ujar Risma.
“Pasti kamu belinya mahal, ya?” tanya Nina ikutan takjub.
Sandra senyum-senyum mendengar rentetan pujian dan pertanyaan dari teman-temannya.
“Ah, enggak! Ini gratis, kok!” jawab Sandra.
“Gratis?” Nina, Gea dan Risma serentak kaget.
“Iya, gratis!” jawab Sandra senang. “Bagus, kan?”
“Iya, bagus!” puji Nina.
“Salah ... salah! Enggak bagus lagi, Nin. Tapi bagus banget!” ujar Gea.
“Benar! Bagus banget! Kamu beruntung banget, Sandra,” kagum Risma.
Nina tertawa mendengar ucapan teman-temannya. “Kalian mau tahu aku dapat dari mana?”
Nina, Gea, dan Risma mengangguk serempak.
“Memangnya kamu dapat dari mana?” tanya Nina penasaran.
“Dari nenekku,” jawab Sandra.
“Memangnya kamu ulang tahun? Bukannya ulang tahun kamu masih dua bulan lagi?” tanya Gea heran.
“Nenek kamu baik banget! Kamu belum ulang tahun sudah dikasih kado,” komentar Risma.
“Yeee ... siapa bilang ini hadiah ulang tahun?” Sandra tertawa geli. “Ini hasil karya nenekku. Ini, kan, bakiak yang aku ceritakan itu. Kalian bilangnya ini sepatu Pinokio.”
“Ini sepatu Pinokio?” Nina, Gea, dan Sandra kembali terkejut.
Sandra mengangguk bangga.
“Ini sepatu Pinokio yang kamu ceritakan itu?” Nina mengulang pertanyaan dengan nada tidak percaya.
“Iya!” jawab Sandra. “Ini bakiak buatan nenekku.”
“Tapi ... kok, kayak kelom cantik yang di majalah Cantika?” Gea juga masih belum percaya.
“Buatannya halus. Lukisan bunga-bunganya juga indah.” Risma mengelus-elus bakiak alias sepatu Pinokio milik Sandra.”
“Nenekku memang punya usaha kecil-kecilan bikin bakiak seperti ini,” jelas Sandra. “Nah, khusus untuk aku, nenek sengaja membuatkan dengan warna biru kesukaanku yang dilukisnya dengan menggunakan cat untuk melukis di atas bahan.”
“Nenek kamu pintar, ya!” ucap Nina kagum.
“Iya. Aku jadi pengin dibuatkan bakiak seperti itu,” kata Gea.
“Aku juga!” ujar Risma, yang diikuti anggukan oleh Nina.
“Coba nanti aku tanya ke nenekku dulu, ya? Semoga nenek mau membuatkan untuk kalian juga. Kita, kan, bisa promosi ke teman-teman. Jadi membantu usaha nenekku juga, deh!” kata Sandra.
“Cihuuuy …!” seru Nina, Gea, dan Risma senang.
***
# Bagian ke-4
“Pssst ... neneknya Sandra baik, ya? Kita mau dikasih bakiak cantik seperti punya Sandra,” bisik Nina, saat mereka telah sampai di rumah nenek Sandra. Gea dan Risma mengangguk-angguk.
Kemarin, Sandra memberitahu Nina, Gea, dan Risma, kalau neneknya akan memberikan ketiganya masing-masing sepasang bakiak. Tetapi, nenek Sandra menginginkan mereka mengambil sendiri ke rumahnya. Saat diberitahu oleh Sandra, Nina, Gea, dan Risma, melonjak-lonjak kegirangan.
“Nah, ini dia bakiaknya. Alasnya terbuat dari kayu yang sudah diamplas dan dipernis halus. Nenek memasang penutup karetnya dengan warna yang berbeda-beda. Bakiak Sandra berwarna biru. Ini ada warna merah, hijau, dan ungu. Kalian pilih yang mana?” Nenek Sandra memperlihatkan tiga pasang bakiak di tangannya.
“Aku mau yang ungu, Nek!” pilih Nina.
“Aku yang hijau!” sahut Gea.
“Yang merah cantik. Aku pilih warna itu, Nek!” kata Risma.
Nenek Sandra tersenyum dan memberikan bakiak kepada Nina, Gea, dan Risma sesuai pilihan warna masing-masing.
“Terima kasih, Nek!” ucap Nina, Gea, dan Risma.
“Tapi, kok ....” Nina memandang bakiak warna ungu di tangannya. Kemudian memandang wajah Gea dan Risma bergantian. Ketiganya pun saling pandang.
Nenak Sandra tersenyum dan mengerti apa yang mereka pikirkan. “Bakiaknya belum dilukis, ya?”
“Iya, Nek!” jawab Risma. “Kami mau seperti punya Sandra. Bakiaknya bagus, mirip dengan kelom yang ada di halaman mode majalah Cantika.”
“Kok, namanya kelom? Bukannya namanya sepatu Pinokio?” goda nenek Sandra.
Nina, Gea, dan Risma tersipu malu. Nenek Sandra tersenyum melihatnya. Sandra malah tertawa melihat sikap ketiga temannya yang jadi salah tingkah.
“Bakiak itu sama dengan kelom. Sebutannya saja yang berbeda, tetapi bendanya sama,” jelas nenek Sandra. “Eh, tapi, bisa juga disebut sebagai sepatu Pinokio,” godanya lagi.
Mendengar perkataan neneknya, Sandra semakin tergelak. Nina, Gea, dan Risma pun akhirnya ikut tertawa.
“Sekarang bantu nenek mempercantik sepatu Pinokio kalian, ya?” ajak nenek Sandra.
Nenek Sandra kemudian membawa perlengkapan untuk melukis di atas bahan. Ada kuas dan beberapa warna cat lukis. Nenek Sandra memberi contoh cara melukisnya. Dengan semangat Nina, Gea, dan Risma melukis di atas bakiak masing-masing. Sandra tidak mau ketinggalan. Dia juga ikut minta sebuah bakiak untuk dilukis.
Sandra, Nina, Gea, dan Risma sangat gembira melihat hasil lukisan bakiak mereka. Ternyata hasilnya tidak kalah indah dibanding lukisan nenek Sandra.
“Terima kasih, Nek!” ucap Sandra, Nina, Gea, dan Risma riang.
“Pasti teman-teman kami yang lain pengin juga punya bakiak seperti ini,” kata Nina.
“Kalau mereka mau, mereka boleh pesan ke sini,” kata nenek Sandra. “Mereka pun bisa melukisnya sendiri seperti sepatu Pinokio kalian itu.”
Sandra, Nina, Gea, dan Risma tertawa mendengar ledekan nenek Sandra.
“Siap, Nek! Kami akan promosi sepatu Pinokio ini. Biar dagangan Nenek laris. Iya, kan, teman-teman?”
“Iyaaa ...!” Nina, Gea, dan Risma serempak menjawab sambil mengacungkan sepatu Pinokio masing-masing.
***
Dimuat di KORAN BERANI
28 Januari-3 Februari 2013 / Tahun VII / No. 3
4-10 Februari 20013 / Tahun VII / No. 4
11-17 Februari 20013 / Tahun VII / No. 5
18-24 Februari 20013 / Tahun VII / No. 6
Kereeeen Kakaaak .... :)
BalasHapusHuwaaa ... Kakaaak ... maaciiiih .... :D
Hapusbagus deh mb :)
BalasHapusmb, bagi alamat email koran berani dong? mau kirim cerbung jg :)
makasih, Mbak. :)
Hapussilakan, ini alamat emailnya: redaksi@berani.co.id
Hemmm.Cerita yang menginspirasi.
BalasHapusMakasih. :)
HapusBagus banget mb ceritanya
BalasHapus