Sinopsis:
Mochi buatan Cici enaaak! Banyak pelanggan yang pesan, termasuk Baba Mugo. Nah, ada satu rahasia tentang kue mochi saat Cici mengantar kue buatannya itu kepada Baba Mugo. Katanya, kalau Cici membuat kue mochi gosong, Cici akan bertemu dengan Monster Mochi. Seperti apa, ya, Monster Mochi itu? Apakah bentuknya bulat seperti kue mochi? Lalu, dia baik atau jahat, ya? Cici jadi penasaran. Dia sangat ingin bertemu dengan Monster Mochi. Yuk, baca ceritanya! Jangan lupa baca cerpen-cerpen lainnya. Semua ceritanya seru!
Judul: Unfinished Story
Penulis: Muthia Fadhila Khairunnisa, Asri Kamila, Diana Sari, Caroline Aretha, Saffana Nur
Komikus: Mustafa Kamal dan Dhang Ayupratomo
Editor: Ahmad Mahdi Shahab
Penerbit: DAR! Mizan
Tebal: 104 halaman
Sinopsis:
Aku diminta membantu temanku untuk mengajarinya menulis. Dia menulis tentang cerita horor, yang pemeran utamanya adalah cewek remaja. Saat sampai di bagian yang paling menyeramkan, aku baru sadar, kalau aku adalah pemeran utama dalam novelnya.
Judul: Gadis Kecil di Ujung Pulau
Penulis: Fayanna
Ilustrator: Sepvess
Editor: Yulia Nurul Irawan dan Shinta Handini
Penerbit: DAR! Mizan
Tebal: 104 halaman
Sinopsis:
Aletha, Atqiya, dan Syamil membuka pintunya bersama. Tetapi ... DUAAAR ...! Pintu tertutup kembali. Mereka langsung saling berpelukan. Jantung mereka berdetak kencang karena ketakutan. Tiba-tiba, seseorang datang sambil membawa kantong besar. Entah apa isinya. Aduuuh ... bagaimana, ya? Siapa dia? Apakah ada hubungannya dengan gadis kecil yang Aletha temui di dekat homestay, di pulau kecil dekat tempat snorkeling, di Pulau Kana waktu mau melihat sunset, dan ketika bersepeda ke Pantai Pasir Perawan? Mengapa gadis kecil itu terlihat sangat misterius? Hiiiy ... seram! Tapi, Aletha jadi penasaran dan ingin menyelidikinya. Ingin tahu hasil penyelidikan Aletha? Baca ceritanya yang seru dan menegangkan di buku ini, yuk!
Kemarin, aku mendengar curhat dari seorang sahabat. Tidak perlu kuceritakan di sini isi curhatnya. Semua yang dia ceritakan, habis di aku. Tidak boleh dan tidak ingin aku share. ^_^
Tapi, aku jadi teringat saat 21 tahun yang lalu. Waktu itu, aku baru menginjak kuliah semester ketiga. Aku kuliah di Depok dan kos di dekat kampus. Tiba-tiba ada berita dari Mama kalau Papa resign dari kantornya. Keputusan yang Mama dukung sepenuhnya, padahal Papa belum dapat pekerjaan di tempat lain. Ada alasan yang sangat kuat, yang membuat Papa mengambil keputusan seperti itu, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip Papa, termasuk ada yang berusaha menjegal kariernya. Mengingat usia Papa dan jabatan terakhir Papa yang cukup tinggi, tidak akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan lain. Namun, Papa tetap gigih untuk melamar bekerja ke perusahaan lain.
Hampir setahun, Papa berusaha melamar pekerjaan ke kantor-kantor, tapi tidak juga berhasil. Sementara, tabungan Mama dan Papa semakin menipis. Walaupun Mama juga bekerja sebagai asiten apoteker, namun gajinya tidak bisa mencukupi kebutuhan kami sekeluarga, terutama biaya kuliahku dan adik laki-lakiku, serta biaya sekolah adik perempuanku.
Alhamdulillah ada jalan dari Allah Swt. buatku untuk meringankan beban Mama dan Papa. Menginjak semester kelima, aku bekerja sebagai asisten laboratorium di kampusku. Semester ketujuh, aku melamar menjadi dosen untuk jurusan D3 dan diterima. Ya, walaupun honornya tidak begitu besar, tapi bisa sedikit mengurangi kiriman Mama dan Papa kepadaku tiap bulannya.
Semenjak bekerja, aku jadi jarang pulang. Kegiatan di laboratorium kampusku, sangat penuh jadwalnya, hingga Sabtu dan Minggu pun sering digunakan. Hingga suatu hari, akhirnya aku bisa pulang juga.
Di rumah, aku mengobrol sama Mama dan Papa. Mama bercerita kalau sudah sebulan menyambi dagang dendeng, abon, dan keripik tempe. Saat Mama bercerita, aku memperhatikan ekspresinya. Tidak ada ekspresi mengeluh darinya. Mama justru merasa bersyukur, dari hasil dagangannya itu ada tambahan pemasukan. Semua dagangan itu diambil langsung dari Solo. Setiap dua minggu sekali, Papa ke Solo dengan menggunakan kereta api ekonomi. Berarti sudah dua kali Papa bolak-balik ke Solo. Sama halnya dengan Mama, Papa pun tidak mengeluh. Bagi Papa, yang penting usahanya itu halal dan bisa terus menafkahi keluarga.
Ada kalimat yang sangat membekas di hatiku saat mengobrol dengan Papa. Beliau bilang,
“Papa dulu selalu berdoa, minta diberi jalan agar bisa semakin dekat sama Allah. Doa Papa dikabulkan. Inilah jalan Allah. Dengan Papa tidak bekerja lagi di kantor, Papa jadi banyak waktu untuk selalu dekat sama Allah. Papa jadi bisa shalat lima waktu di masjid, itikaf di masjid, dan ikut pengajian bapak-bapak. Coba kalau Allah membiarkan Papa bekerja lagi, pasti Papa masih jarang ke masjid.”
Masya Allah. Aku terenyak saat itu. Papa begitu ikhlas, juga Mama. Mereka tidak mengangap kalau Allah sedang memberi cobaan kepada mereka. Tapi mereka menganggap itu jalan Allah dan jawaban atas doa-doa Papa selama ini. Bahkan Papa tidak dendam kepada siapa pun, termasuk orang yang tidak suka kepadanya hingga membuat Papa mengambil keputusan keluar dari kantor. Papa bilang kalau mereka adalah perantara sehingga doa-doa Papa terkabul. Jalannya memang harus begitu. Ikhlas saja. Hati akan jadi tenang.
Dari Mama dan Papa, aku banyak belajar. Belajar untuk berbaik sangka kepada Allah dan belajar untuk ikhlas terhadap segala ketentuan-Nya. Aku ingin bisa tegar, sabar, dan kuat seperti mereka.
Sambil menulis, aku memutar sebuah lagu berulang kali. Lagu penguat hatiku saat aku merasa kurang bersyukur atas nikmat Allah Swt, seperti saat ini.
Astaghfirullahl ‘adzim ….
Astaghfirullahl ‘adzim ….
Astaghfirullahl ‘adzim …. :’(