Selasa, 09 Juli 2013

Reuni dan Obrolan Akselerasi

Beberapa waktu yang lalu, saya janjian ketemu dengan dua orang teman. Ceritanya reunian. :D
Nah, teman saya yang satu adalah teman SMA. Satunya lagi tetangga satu kompleks yang kenalannya sungguh ajaib ... di Bandung! :D
Ferdina Siregar atau Dina adalah nama teman SMA saya. Sementara itu tetangga saya namanya Mila Kartina, biasa dipanggil Mila.

Kami bertemu setelah Thia les balet. Tempatnya di Klenger Burger, sebuah restoran di daerah Tebet. Restorannya nyaman, makanannya pun nikmat. Hanya saja harganya lumayan mahal. Kalau sesekali, bolehlah. Kalau sering-sering? Enggak janji deeeh ... hehehe. :D

Saat itu, saya bersama Thia, Ariq, dan Arza, tiba duluan. Kami sempat beberapa saat lamanya menunggu di dalam mobil, karena Ariq dan Arza masih tertidur pulas. Kasihan kalau dibangunin cepat-cepat, sementara kedua teman saya itu belum bergerak menuju tempat pertemuan kami. Keduanya masih ada pekerjaan yang belum selesai.

Setelah Ariq dan Arza bangun, baru, deh, kami turun dari mobil. Pas waktu itu azan maghrib.
Restorannya memang patut diacungi jempol, karena ada mushola dan tempat berwudhu. Toiletnya pun bersih dan wangi. Kami jadi bisa sholat maghrib dengan nyaman. Alhamdulillah. :)

Karena Thia, Ariq, dan Arza sudah kelaperan, jadinya kami langsung pesan makanan. Tak berapa lama, pesanan kami datang. Bersamaan dengan datangnya Mila, yang langsung bergabung bersama kami. Mila pun berkenalan dengan ketiga anak saya. Setelah itu, Dina juga sampai. Komplit, deh!

KiKa: Mila, Arza, Aku, Thia, dan Dina
KiKa: Thia, Ariq, dan Arza

Seperti reuni-reuni pada umumnya, sambil makan, kami ngobrol ngalor-ngidul. Mulai dari cerita masa-masa SMA dengan Dina, pertemuan yang ajaib dengan Mila, hingga kesibukan kami masing-masing saat ini.

Mila adalah seorang penulis skenario yang karyanya sudah banyak ditayangkan di televisi. Sementara Dina adalah dosen mata kuliah Bahasa Inggris di sebuah perguruan tinggi swasta. Dina dan Mila bertemu di sebuah kegiatan sosial untuk anak-anak difabel. Mereka adalah volunteer di kegiatan tersebut.

Perbincangan kami semakin seru, saat Dina bercerita tentang salah seorang mahasiswinya yang masih berusia 15 tahun. Mahasiswi tersebut bisa kuliah di usia muda karena saat SMP dan SMU mengikuti program akselerasi. Wow, hebat! Dalam bayangan saya, mahasiswi itu pastilah seorang yang jenius. Tapi ternyata saya salah. Dina bilang, mahasiswinya itu sering kesulitan dengan tugas-tugas kuliah yang diberikan oleh para dosen. Dia senantiasa mengeluh bebannya terlalu berat dan merasa belum saatnya kuliah, seharusnya masih berada di awal SMU seperti teman-temannya. Mahasiswi tersebut jadi stres dengan kuliahnya.

Saya jadi berpikir ... kenapa mahasiswi tersebut dulu ikut program akselerasi? Untuk apa? Tujuannya apa ikut program akselerasi? Mau cepat-cepat lulus? Atau karena gengsi?
Jadi, sebenarnya program akselerasi itu efektif tidak, sih? Padahal selama ini, guru-guru di sekolah juga tidak memberi ranking di rapor.

Buat anak yang otaknya jenius, program akselerasi ini tentu sangat mendukung sekali. Dia bisa memaksimalkan potensi dan kemampuannya. Tapi kalau buat anak yang kecerdasannya rata-rata, yang nilai tingginya didapat karena ngotot belajar terus-menerus atau dari hasil belajar di bimbingan belajar, sungguh sangat disayangkan. Akhirnya, ya jadi seperti itu. Duh, kasihan, kan?

Saya jadi memandangi ketiga anak saya satu per satu. Saya sangat mengerti bakat, minat, dan kemampuan mereka masing-masing. Tidak akan saya paksakan mereka untuk belajar hal-hal yang tidak mereka sukai. Buat saya, belajar di sekolah secukupnya saja. Tidak perlu ngotot dan ngoyo, mati-matian belajar demi nilai sempurna. Toh, belum tentu mereka memang senang dan menguasai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Banyak mata pelajaran yang tidak diajarkan di sekolah, tapi mungkin jadi kelebihan mereka. Lebih baik terus mengasah kelebihan masing-masing anak, daripada harus mengejar nilai tinggi agar bisa ikut program akselerasi.

Saya akan membiarkan anak-anak saya berkembang dan menikmati perkembangannya. Dunia perkuliahan dan kerja, beda dengan sekolah. Biarlah mereka menikmati masa-masa sekolah tanpa akselerasi. Akan ada masanya terjun untuk kuliah dan bekerja ... saat mereka telah siap.

Oh ya, pas di restoran, saya sempat mengabadikan berbagai makanan dan minuman yang kami pesan. Tampilannya sungguh cantik. Ini diaaa .... :D

Spagetti bolognase
Chicken Steak
Smoke beef burger
Spagetti Tuna
Hotdog
Teh tarik panas, teh tarik dingin, dan milkshake

Pfiuuuh ... ngobrol-ngobrol yang bermanfaat. Tak terasa waktu terus merambat. Sudah hampir 3 jam kami bertemu dan bercakap-cakap. Makanan dan minuman yang kami pesan juga sudah ludes kami santap. Kami pun akhirnya saling berpamitan.
Thanks, Dina ... Thanks, Mila .... Sampai ketemu lagi. ^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

4 komentar :

  1. aku pernah ada di posisi mereka, mba. anak-anak akselerasi, karena lebih cepat 1 tahun dr usia sebaya saat masuk SD. hasilnya memang bikin kaget, karena merasa memang belum waktunya untuk masuk sekolah. jadi mungkin keputusan masuk akselerasi juga orang tua harus pertimbangkan matang-matang. biar anak bertumbuh semestinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaaa ... itu yang saya pikirkan. Kasihan anaknya kalau cuma buat gengsi-gengsian bisa masuk di kelas akselerasi. Anaknya pun mesti bekerja keras untuk merampungkan seluruh materi pelajaran yang dipadatkan. Beda kalau anaknya memang superjenius. Enggak pakai belajar pun sudah pinter.
      Yah, lebih enak dinikmatilah setiap masa-masa perkembangan. Buat apa juga lulus cepat-cepat. Mau disuruh langsung kerja? Yang standar ajalah, sesuai dengan kemampuan anak. Lebih menyenangkan. ^_^

      Hapus
  2. eeehhhhhhh, acara ketemuan kita dijadiin tulisan toh? hehehe... jadi laper lagi ngeliat foto2 makanannya... :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dinaaa ... kaget gue. Kok, bisa nyasar ke mari? Hihihi.
      Iya, thanks untuk ketemuan dan ngobrol-ngobrolnya. :D

      Hapus