Sabtu, 19 April 2014

[Tulisan Saya] Fitri dan Fitria

Cerita Bersambung


FITRI DAN FITRIA
Shinta Handini

# Bagian Pertama

“Mamaaa ... janji ya, aku dibelikan tiga baju baru!” Fitri merengek lagi.
Mama yang sedang sibuk bekerja di depan komputer hanya mengangguk.
“Pokoknya, aku mau baju seperti yang ada di majalah ini!” Fitri menunjukkan majalah yang berada di tangannya kepada mama. Di sana terbuka halaman yang menampilkan beberapa model yang memperagakan baju-baju indah.
Mama hanya melirik sebentar, kemudian kembali menekuri pekerjaannya.
Tidak berapa lama kemudian, kembali Fitri berteriak, “Sama sepatu yang kayak ini ya, Ma!” Tangannya menunjuk ke gambar yang ada di halaman berikutnya.
“Fitri, Mama sedang kerja, Sayang. Terserah, Fitri boleh beli baju dan sepatu apa saja. Tapi, sekarang biarkan Mama kerja dulu, yaaa ....” Mama yang merasa terganggu dengan ulah Fitri pun pindah ruangan ke taman belakang rumah.
“Uh, Mama ... kerja teruuus ...,” gerutu Fitri kesal. “Kapan, sih, punya waktu untuk aku? Sebel ... sebel ... sebeeel ...!” Fitri menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Bibirnya terlihat maju beberapa senti.
Fitri mengempaskan tubuhnya ke sofa. Kekesalannya terhadap mama ditumpahkan dengan memijat-mijat tombol remote control. Berkali-kali dia mengganti saluran televisi. Tapi, tidak ada tayangan yang cocok untuk dilihat.
Tiba-tiba, Fitri berteriak, “Bi Imaaas ... AC di ruang keluarga ini, kok, kurang dingin, sih?” Tangannya sibuk mengipas-ngipas leher dan mukanya.
Bi Imas yang mendengar teriakan majikan kecilnya tergopoh-gopoh muncul dari dapur.
“Ada apa, Non? Non Fitri memanggil saya?”
“Iya, Bi Imaaas .... Ini AC-nya, kenapa enggak terasa dingin?”
“AC-nya emang sudah waktunya diservis, Non. Bibi sudah memanggil tukang servis AC langganan. Tapi ternyata lagi sakit. Katanya, kalau sudah sehat, secepatnya akan ke rumah ini,” jelas Bi Imas.
“Kenapa enggak panggil tukang servis AC yang lain, sih, Bi?”
“Kasihan, Non. Tukang servis AC-nya sudah langganan sejak lama. Lagipula, anaknya banyak. Lumayan ongkos servisnya jadi rezeki anak-anak dan istrinya.”
“Ah, Bibiii ...!”
Dengan kesal Fitri masuk ke kamarnya. Dia melirik ke arah jam dinding. Pukul dua siang. Matahari di luar sedang tidak bersahabat. Fitri menyalakan AC, kemudian menuju rak buku di sudut kamarnya. Beberapa majalah diambil. Untuk beberapa saat lamanya, Fitri tenggelam dalam bacaan. Setelah itu, Fitri mulai kembali bosan.
Fitri menyalakan komputer. Dia mulai berselancar di dunia maya. Klik sana, klik sini, melihat berbagai macam berita. Akhirnya, dia membuka akun Facebook-nya.
Fitri menulis status.
Bosan ... bosan ... bosaaaaan ...!
Tidak beberapa lama, komentar-komentar dan lambang jempol tanda suka dengan status tersebut, bermunculan.
Kenapa, Fit? Main ke rumahku aja, yuk! Aku punya games barus, nih!
Jiaaah ... segalanya ada, kok, bosan? Tukeran tempat, mau, enggak?
Kalau bosan di bumi, coba pergi ke Mars.
Jalan-jalan ke mal, yuk! Temenin aku beli baju baru buat ke pesta pernikahan tanteku.
Dalam sekejab, belasan komentar menghiasi kolom di status Facebook Fitri. Tak ada sedikit pun niat di hati Fitri untuk membalasnya. Tiba-tiba, ada satu komentar yang menarik perhatiannya.
***

# Bagian Kedua
 
Hari ini aku dan keluargaku mau berkunjung ke panti asuhan. Mau ikut, enggak? Kalau mau, kutunggu di rumahku sekarang juga. Rencananya, kami mau makan malam bersama di sana.
Fitri melirik nama penulis komentar tersebut. Davina. Teman sekelas Fitri. Rumahnya hanya beda satu blok dari rumah Fitri.
Fitri membalas komentar Davina.
Davina, aku mauuu .... Tunggu, ya! Aku izin sama mamaku dulu. Kayaknya, sih, dibolehin. Soalnya mamaku juga lagi sibuk.
Davina membalasnya.
Oke! Aku tunggu. Cepetan!
Fitri menutup akun Facebook-nya dan mematikan komputer. Dia segera menuju taman belakang rumah, di mana mamanya berada.
“Mamaaa ... aku mau ikut sama Davina, yaaa .... Mau ke panti asuhan sama keluarganya. Mereka mau makan malam bersama di sana.”
Mama yang sedang serius bekerja, terkejut.
“Lho? Kok, tiba-tiba? Nanti, Mama makan malam sama siapa kalau kamu pergi? Papa, kan, lagi dinas ke luar kota.”
“Aku bosan, Ma. Mama kerja terus,” rajuk Fitri. “Boleh ya, aku ikut ke panti asuhan sama Davina dan keluarganya.”
Mama terdiam sejenak.
“Hm, begini saja. Pekerjaan Mama sebentar lagi beres. Gimana kalau Mama ikut juga? Kamu coba hubungi Davina dan keluarganya. Tanya alamat panti asuhannya. Nanti, kita menyusul ke sana.”
“Benar, Ma? Mama mau ikut juga?”
Mama tersenyum dan mengangguk. Fitri melonjak kegirangan.
“Iya, tapi kasih Mama waktu buat menyelesaikan pekerjaan Mama dulu sebentar.”
“Horeee ... makasih ya, Ma!” Fitri mencium pipi mamanya sekilas, sebelum kemudian berlari menuju ruang keluarga untuk menelepon Davina. Mama hanya geleng-geleng saja melihat tingkah Fitri.
Mama menghentikan mobil di depan sebuah rumah besar bercat putih. Sebenarnya, warna cat rumah itu sudah tidak putih lagi. Lebih terlihat berwarna kecokelatan karena sudah kusam.
“Benar ini tempatnya, Ma?” Fitri melihat ke sekelilingnya dengan tidak yakin.
“Iya. Itu, lihat saja papan nama di depan rumah itu!”
Fitri membaca tulisan yang ditunjuk mamanya. PANTI ASUHAN AZHAR. Fitri tertegun.
“Kok, malah bengong?” tegur mama. “Yuk, kita turun!”
Dengan ragu-ragu Fitri mengikuti mamanya turun dan masuk ke bangunan rumah panti asuhan.
“Fitri ...!” panggil Davina. “Senangnya kamu dan mamamu bisa bergabung bersama kami.”
Fitri tersenyum memandang Davina yang menyambutnya dengan riang. Davina mencium tangan mama Fitri dan mengajak keduanya masuk ke dalam rumah.
“Ini, kenalkan ... Bu Nadia, ibu dari teman-teman panti asuhan di sini.”
Bu Nadia mengangguk dan tersenyum kepada Fitri dan mamanya, seraya mengulurkan tangan.
“Nah, ini dia teman-teman panti asuhan yang tinggal di sini. Ini Farah, Mita, Dinda, Raras, Kinanti, Dewi, Dita ....”
Fitri takjub. Davina hafal nama-nama mereka semua.
“Nah, sekarang kita main dulu, yuk!” ajak Davina.
Fitri dan teman-teman di panti asuhan mengikuti langkah Davina ke halaman belakang. Fitri memerhatikan, semua tampak gembira, tidak ada yang bersedih.
Eh, tapi ... siapa itu yang menyendiri di sudut dekat pohon mangga? Fitri berjalan mendekati anak tersebut.
***

# Bagian Ketiga

“Kamu kenapa di sini sendirian? Engak ikut main?”
Anak itu tidak menjawab. Hanya menggeleng.
“Namaku Fitri. Namamu siapa?” Fitri mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
Dengan ragu-ragu anak itu menyambut uluran tangan Fitri.
“Fitria.”
Fitri terkejut, “Fitria? Wah, nama kita hampir sama!”
Anak itu mengangguk.
“Ah, kenapa kamu menyendiri, Fitria?”
“Aku kangen sama ibuku. Aku baru seminggu di sini. Aku dibawa ke sini karena sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ibuku baru saja meninggal tertabrak mobil waktu berangkat bekerja. Ibuku bekerja jadi pelayan di rumah makan.” Fitria mulai menangis.
Fitri memeluk tubuh Fitria. Dia ikut merasakan kesedihan yang dialami Fitria. Fitri jadi ingat akan mama. Betapa beruntungnya dia dibanding Fitria.
Di kejauhan, mama melihat semua yang dilakukan Fitri. Mama menyusut air mata yang menetes di sudut matanya.
“Mama ... mana baju-baju baru pesananku?” Fitri langsung menyerbu ketika melihat mama turun dari mobil.
“Ada! Semua baju-baju itu ada di bagasi mobil. Yuk, bantu Mama membawanya masuk ke rumah!”
“Horeee .... makasih ya, Ma!” Fitri melonjak kegirangan. “Fitria ... bantu aku yaaa .... Ini buat teman-teman di panti asuhan.”
Fitria muncul dari dalam rumah sambil berlari-lari kecil. Dengan cekatan dia membantu Fitri menurunkan barang-barang dari bagasi mobil. Mama tersenyum melihat keduanya.
“Ulang tahunku kali ini istimewa banget, ya, Ma. Aku senang, deh!” Fitri menghampiri mama yang sedang ikut menghitung jumlah barang-barang yang sudah diturunkan.
Mama tersenyum, “Iya, Sayang.”
“Apalagi sekarang ada Fitria yang tinggal bersama kita. Aku jadi enggak kesepian lagi kalau Mama dan Papa kerja.”
Mama mengusap-usap kepala Fitri dengan sayang.
“Hari ini kita ke panti asuhan lagi, kan, Ma?” Fitri menoleh ke arah mama. Mama mengangguk seraya tersenyum. “Besok, pas acara syukuran ulang tahunku, teman-teman di panti asuhan bisa pakai baju baru ini.”
“Lalu, kamu sendiri pakai baju apa, Sayang?”
“Baju-bajuku masih banyak yang bagus, Ma. Bahkan ada beberapa yang baru sekali dipakai,” jawab Fitri. “Eh, iya, Mama tidak lupa membeli baju baru untuk Fitria, kan?”
“Tentu saja, Sayang. Coba, lihat ini!” Mama mengeluarkan satu bungkusan besar yang masih belum dikeluarkan dari mobil.
“Wah, Fitria ... itu bajumu. Ayo, dibuka!”
“Terima kasih, Ma.” Fitria berjalan mendekati mama dan membuka bungkusan yang disodorkan mama.
“Loh, kok, bajunya ada dua, Ma? Sama modelnya.” Fitria meneliti kedua baju yang ada di tangannya. “Hanya ... warnanya saja yang berbeda. Satu warna biru dan satu warna hijau.”
“Iya, itu memang baju untuk kalian berdua. Untuk kedua anak Mama yang cantik dan baik.”
“Untukku juga, Ma?” Fitri terkejut. “Mama baik sekali. Terima kasih, Mamaku Sayang.” Fitri mengecup kedua pipi mamanya.
Mama tertawa senang. Dipeluknya keduanya. Fitri dan Fitria membalas pelukan mama.
“Yuk, sekarang kita bersiap ke panti asuhan,” ajak mama. “Besok, kita berkunjung ke sana lagi untuk pesta sederhana syukuran ulang tahun Fitri.”
“Asyiiik ...!” sorak Fitri dan Fitria. Mereka mengikuti mama memasukkan baju-baju baru untuk teman-teman di panti asuhan ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan menuju panti asuhan, Fitri tersenyum bahagia. Fitri gembira menyambut ulang tahunnya esok hari. Ulang tahunnya kali ini menjadi ulang tahun yang terindah untuknya.
***

Dimuat di KORAN BERANI
17-23 Maret 2014 / Tahun VIII / No.11
24-30 Maret 2014 / Tahun VIII / No.12
31 Maret - 6 April 2014 / Tahun VIII / No.13

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar :

Posting Komentar