Selasa malam, 19 Mei 2015, sehabis shalat Maghrib, aku sudah bersiap pergi. Sudah pakai baju pergi (seperti biasa pakai baju kebangsaanku; celana jin, kaos lengan panjang, dan jilbab), sudah pakai sepatu yang nyaman buat nyetir, sudah menenteng tas, dan sudah pegang kunci mobil. Ariq dan Arza juga sudah siap. Sebelum maghrib, mereka memang sudah kuminta untuk berganti pakaian dengan baju dan celana yang kupersiapkan. Tinggal Thia, nih! Iiih ... gemas banget!
Gimana enggak gemas, coba? Maksain pergi malam itu, ya, buat kepentingan Thia. Padahal aku, tuh, paling enggak suka pergi malam dan harus nyetir mobil pula. Kalau perginya sudah telanjur sampai malam, ya, enggak apa-apa juga nyetir mobil. Kan, tinggal pulang. Masa mau menginap di jalan? Lah, ini, sudah dari pagi diingatkan untuk cepat pergi supaya beres urusannya, tapi jawabannya: "Sebentar, Ma, tinggal sedikit lagi!", "Nanti dulu, Ma, tanggung nih!", "Iya, sebentar lagi. Enggak lama, kok!"
Hiyaaa ... enggak lama apa, cobaaa .... *saking gemasnya*
Sampai selesai maghrib, belum beres juga dan belum siap-siap. Terpaksalah harus dipaksa siap. Mau nungguin Thia selesai? Bisa-bisa mal keburu tutup. Hari kerja, kan, mal tutup pukul 9 malam. Sementara mal yang paling dekat dari rumah (Mal Arion Rawamangun) membutuhkan waktu paling cepat setengah jam perjalanan. Kalau macet bisa sejam lebih. Keburu tutup, kan?
Sebenarnya, mau ngapain, sih, ke mal malam-malam? Maksain harus malam itu pula?
Masalahnya, besok pagi itu, Rabu, 20 Mei 2015, Thia ada acara farewell party bareng teman-teman satu angkatan kelas 9, SMP Labschool Jakarta di Plaza Bapindo. Baju, tas pesta, dan hiasan rambut ala great gastby sudah siap (tema pesta: great gastby). Sementara sepatu pestaku enggak ada yang muat di kaki Thia. Nah! Semuanya sudah siap, masa terus nyeker? Iiiih .... >.<
Singkat cerita (karena masih banyak acara ntar-ntar dari Thia dan ngomel-ngomel dari aku), akhirnya Thia berhasil diajak pergi. Kami pun sampai mal sekitar pukul 7.20 malam. Setelah parkir mobil, aku bergegas mengajak Thia, Ariq, dan Arza langsung menuju departement store Mal Arion ke counter sepatu. Ariq dan Arza izin duduk di bangku yang disediakan di dekat counter sepatu itu. Pintar! Daripada capek ngikutin aku dan kakaknya, mending istirahat.
Muter sekali, belum ada yang cocok. Muter kedua kali, aku melihat ada sepatu pesta sederhana berhak tiga senti di salah satu raknya. Kutawari Thia. Tapi, Thia enggak suka. Muter lagi, deh! Kali ini semua sepatu pesta dilihat detail dan dicoba satu per satu. Ada yang cocok, tapi tingginya sekitar tujuh senti. Alamaaak ...!
Aku bilang sama Thia, "Mama, dulu, waktu kerja, pakai high heels tiga sampai lima senti saja, capeknya minta ampun. Kamu yang belum pernah pakai high heels mau langsung pakai yang tujuh senti? Paling belum ada setengah jam sudah ngeluh capek. Pestanya enggak sebentar, lho! Dari jam delapan pagi sampai jam lima sore. Kalau kuat, ya, silakan."
Thia mikir sebentar dan akhirnya memutuskan enggak jadi pilih sepatu yang itu.
Saat mengedarkan pandangan, aku melihat tak jauh dari situ, ada counter aksesori. Spontan aku melangkah ke sana. Ada berbagai macam aksesori lucu. Di kepalaku yang terbayang adalah anting silver yang sesuai dengan hiasan rambut dan hiasan bajunya Thia. Setelah menimbang-nimbang berbagai pilihan anting, termasuk menimbang harganya yang paling murah (ini sudah pasti khas emak-emak, mau dapat bagus tapi murah), juga yang cocok dengan selera Thia, akhirnya pilihan jatuh pada anting panjang silver yang simpel. Langsung, deh, minta bonnya.
Sepatu masih belum dapat, malah tambah beli anting. Nah, salah sendiri, kan, nambah-nambahin belanjaan, padahal Thia enggak minta. Hehehe ... tapi senanglah bisa menyenangkan anak. :D
Setengah jam sudah berlalu. Sepatu belum dapat. Sejam lagi, mal tutup. Buru-buru aku mengajak Thia buat keliling counter sepatu lagi. Aku mencoba membujuk Thia untuk mempertimbangkan sepatu pilihanku yang pertama. Aku merasa sepatu itu yang paling cocok buat Thia dan serasi sama baju dan aksesorinya yang lain. Thia pun akhirnya mencoba. Dia kelihatan langsung suka. Nah, cocok dan enak dipakai, kan? Sebelum Thia berubah pikiran, aku langsung minta sama pegawai tokonya untuk mengambilkan sepatunya yang baru dan sesuai ukuran kaki Thia. Pas kebetulan sepatu yang dipajang dan dicoba, nomornya sesuai ukuran kaki Thia.
Begitu sepatunya datang, dicoba, dan Thia kelihatan puas, aku kembali minta bonnya.
Pfiuuuh ... akhirnya selesai acara belanjanya. Sepertinya, ini belanja superkilat yang pernah aku lakukan. Malam-malam pula. Untung malnya belum tutup. Untung semua yang dicari ada walau sedikit muter-muter dulu. Kalau enggak, bisa pucing pala Shinta. Hahaha ....
perlengkapan farewell party Thia |
Thia, my princess. Proud of you, Dear. |
Selesai membayar semuanya, aku mengajak Thia, Ariq, dan Arza untuk makan malam sebelum pulang. Ariq dan Arza langsung girang. Kebayang bete-nya mereka menunggu selama sejam dengan pesan keras dariku supaya tidak ke mana-mana, harus diam di tempat. :D
Makan malam yang terlambat. Habis kalau makan malam dulu, nanti departement store-nya keburu tutup. lagipula bakal enggak tenang kalau belum dapat yang dicari. Hehehe ....
Kami pun lantas menuju restoran terdekat.
Saat makan malam, baru tenang dan legalah hati ini. Jam di restoran menunjukkan pukul 8.15 malam. Masih ada waktu sekitar 45 menit untuk makan dengan santai. Semua barang yang dicari sudah dapat, makan pun tidak perlu terburu-buru karena takut diusir. Buka gadget sebentar, aaah ...! Dari tadi aku merasa ada beberapa notifikasi. Aku menebaknya, sih, dari whatsap grup ibu-ibu kelas 9, kelasnya Thia. Biasa, deh, persiapan acara anak-anak, emak-emaknya yang repot. :D
Eh, ada notifikasi Facebook lagi. Tadi, saat masih di jalan (waktu lagi nyetir menuju mal), aku sudah melihat notifikasi Facebook ini. Tapi, daerah Rawamangun dan sekitarnya itu memang sinyal lep-lepan alias susah banget. Notifikasi sosial media masuk, tapi sering enggak bisa dibuka. Loading terus. Nah, setelah melihat obrolan whatsapp grup ibu-ibu kelas 9, aku pun langsung mencoba membuka notifikasi Facebook lagi. Ada beberapa sahabat kecilku di Facebook yang mention namaku dalam komentar mereka.
Kali ini, aku beruntung bisa masuk ke Facebook dan membuka notifikasi yang mention namaku itu. Masya Allah ... aku benar-benar kaget dan enggak menyangka. Aku sampai meminta Thia untuk membaca juga. Siapa tahu, aku salah baca. Tapi, benar kata Thia yang kubaca itu. Terima kasih buat Indzana Zulfa yang sudah mention pertama kali di postingan Panspage Facebook KKPK.
Luar biasa senangnya hatiku. Alhamdulillah, naskah yang kutulis dan kuikutsertakan dalam Lomba KKJD Hunt! lolos. Langsung, deh, perut terasa kenyang, padahal makanan yang kupesan belum tersentuh. Hahaha ... lebay, deh!
Link postingan: https://www.facebook.com/KKPKMizan/posts/10150508670914944 |
Terus ... cuma begitu saja? Cuma mau bilang lolos KKJD Hunt! saja, tapi muter-muter cerita tentang Thia dan segala macam kehebohan sebelumnya.
Ya, enggak begitu juga. Aku ingin mengabadikan saat-saat sebelum dapat kejutan sekaligus hadiah yang luar biasa bagi diriku. Karena di balik naskah KKJD Hunt! yang kukirimkan ini, ada tekad, pembuktian, support, juga insya Allah merupakan buah dari keikhlasan.
Boleh dibilang, naskah KKJD Hunt! yang kutulis ini, "karena" dan "untuk" Thia. Aku tidak memikirkan naskahku ini bakal lolos. Tujuanku hanya satu, yaitu untuk menyemangati Thia, membangkitkan kembali gairah menulisnya, membuktikan kalau segala kesibukan tidak bisa menghalangi menulis apabila sudah menjadi "passion".
Aku bilang sama Thia,
"Passion itu adalah jiwa. Segala sesuatu yang dilakukan tanpa passion akan terasa hampa. Kalau kamu merasa menulis adalah passion kamu, maka kamu tidak akan merasa lelah apalagi terganggu dengan menulis. Justru kalau tidak menulis, kamu merasa ada yang hilang dari diri kamu. Kamu akan merasa mati, karena kamu tidak bisa mengalirkan napas kamu dalam keseharian kamu."Kalimat-kalimat itu berkali-kali kuucapkan kepada Thia. Beberapa saat yang lalu, Thia memang seperti hilang semangat untuk menulis. Bisa dimaklumi, mungkin Thia sedang ingin beristirahat sejenak "menulis" setelah menyelesaikan penelitian dan karya tulis (bentuknya seperti skripsi mahasiswa), kemudian sidang karya tulis sebagai salah satu syarat kelulusan SMP. Setelah itu lanjut dengan persiapan untuk Ujian Sekolah (US) dan Ujian Nasional (UN). Hampir tiap hari pulang sekolah lebih sore dan sampai rumah menjelang maghrib, karena ada Pendalaman Materi (PM) dan pemantapan pelajaran. Pfiuuuh ... aku yang melihat dan antar jemput Thia saja, berasa ikutan capek. Tapi, walaupun tidak "menulis" dalam arti menulis naskah, aku ingin Thia menulis seperti biasa di dalam blog atau notes netebook-nya yang hanya sekadar menceritakan keseharian ataupun perasaan-perasannya. Tapi ini tidak. Blas (kata orang Jawa), Thia sama sekali tidak menulis.
Duh, aku jadi cemas. Aku sampai berulang kembali menanyakan kepada Thia, apakah menulis masih menjadi passion-nya? Kalau pun tidak, mungkin sama seperti balet dan piano, aku kembali harus legowo menerimanya jika Thia merasa cukup sudah untuk menjalani kegiatan menulis. Aku tidak mau memaksakan Thia untuk menekuni hal yang sudah tidak ingin dilakukannya, termasuk "menulis". Aku mau Thia bersemangat mengejar dan bekerja keras untuk sesuatu yang menjadi passion-nya. Bagiku, apa pun itu, aku akan support.
Ikut Lomba KKJD Hunt! adalah salah satu upayaku untuk menyemangati sekaligus membuktikan kepada Thia, kalau menulis merupakan "passion" maka apa pun rintangannya pasti bisa dihadapi. Sebelumnya, aku sempat ragu. Bisa, enggak, ya, aku menyelesaikannya tepat waktu? Masalahnya, deadline-nya tinggal kurang dari tiga minggu. *tepok jidat*
Tapi, aku harus bisa. Butuh tekad kuat sekeras baja untuk menyelesaikannya. Di kepalaku langsung terbayang idenya. Ide sederhana yang terinspirasi dari banyaknya inbox yang berasal dari sahabat-sahabat kecilku. Berbagai macam cerita kudapatkan di sana. Mulai dari sekadar sapaan, pembicaraan seputar hal-hal yang berhubungan dengan kepenulisan, hingga curhatan-curhatan mereka. Aku menikmatinya, sangat menikmatinya.
Ya, aku sudah lebih dari tiga tahun tidak aktif posting di dua facebook-ku, semenjak papaku sakit dan aku harus menyetir sendiri. Tidak ada alasan khusus. Aku hanya terlalu lelah menyetir mobil. Aku yang dulu kalau di mobil selalu tidur dan bahkan tidak tahu jalan-jalan yang ada di Jakarta (padahal dari umur dua tahun sudah tinggal di Jakarta), semenjak menyetir mobil sendiri, aku harus "melek". Yang kumaksud "melek" di sini dalam arti tidak boleh tidur karena aku sopirnya dan melek jalan (menghafal dan memikirkan jalan-jalan alternatif yang tidak terlalu macet yang akan kulalui). Perubahan drastis itu membuatku capek luar biasa. Butuh waktu setahun untuk penyesuaiannya. Apalagi aku itu kalau sudah masuk mobil, ngantukan. Walau sudah cukup tidur, kalau kena AC mobil, mata rasanya sudah ingin dipejamkan dan pikiran pun sudah melayang-layang ke alam mimpi. Hadeeeh .... >.<
Kan, bisa buka sosial media pas lagi menunggu kegiatan Thia, Ariq, dan Arza? Memang bisa, tapi cuma bisa lihat notifikasi yang masuk saja. Begitu dibuka, loading-nya lama betuuul .... >.<
Aku sampai sekarang juga enggak mengerti, kenapa di daerah Rawamangun itu sinyalnya susah banget, ya? Mungkin karena banyak gedung-gedung tinggi dan jalan layang yang menghambat sinyal. Entahlah, itu kecurigaanku saja, sih. Belum ada jawaban yang pas sampai sekarang. Yang jelas, komunikasi dengan Thia (yang bawa handphone ke sekolah) selama ini susah. Padahal, Labschool itu sempit ruang parkirnya. Sementara, parkir di pinggir jalan enggak boleh. Pengalamanku sendiri soalnya. Ban mobilku pernah dikempisin oleh Polisi Dinas Perhubungan Jalan Raya saat aku parkir melipir di depan Labschool. Padahal cuma sebentar parkirnya, cuma mau menjemput Thia karena SMS dan whatsapp yang kukirimkan belum diterima Thia. Telepon juga masuk ke kotak suara. Mangkanya, kapok parkir melipir di Labschool.
Begitulah alasanku sudah tidak aktif posting di dua facebook-ku. Tapi, hal ini malah membuatku nyaman. Tidak ikut dalam kehebohan postingan-postingan dan komentar-komentar di Facebook. Sesekali ikut komentar kalau pas di beranda ada teman yang berbagi postingan. Tapi, sepertinya ... ya, aku banyak ketinggalan berita. Settingan Facebook juga telah menentukan kalau teman-teman yang muncul di beranda adalah teman-teman yang paling banyak berinteraksi dengan pemilik Facebook. Nah, interaksiku kebanyakan dengan sahabat-sahabat kecilku via inbox. Otomatis beranda Facebook-ku isinya tentang mereka semua. :D
Lah, malah ngelantur ngomongin Facebook. Hahaha ....
Balik lagi, deh, ke naskah KKJD Hunt! ku. Dari ide yang ada, aku langsung membuat outline-nya. Aku memikirkan untuk membuat 8 bab masing-masing kurang lebih 5 halaman. Pas, nantinya akan jadi 40 halaman sesuai persyaratan lomba.
Selesai buat outline, belum langsung ditulis, tuh! Ada editan naskah yang harus kukerjakan. Selesai menyerahkan editan, aku kembali membaca outline yang kubuat. Ada perbaikan di sana-sini. Setelah selesai, aku mencoba menuliskannya. Awalnya lancar, dapat 4 halaman bab pembuka. Tapi, terus kemudian stack. Aku merasa konfliknya kurang greget.
Eh, ada editan naskah lagi yang datang. Ke-pending lagi, deh, tulisannya. Kerjain editan dulu, dong! Selesai membereskan kerjaan mengedit naskah, aku balik lagi ke naskah tulisanku sendiri. Huhuhu ... tersendat. Aku masih sibuk corat-coret outline lagi, mengubahnya. Setelah beres, aku malah pesimis untuk melanjutkan. Hingga beberapa hari kudiamkan. Aku sibuk dengan pekerjaan-pekerjaanku yang lain yang berhubungan dengan menulis juga.
Waktu terus berjalan, dong! Masa aku cuma bisa ngomong sama Thia? Action mana action? Maka, dengan sekuat tenaga, kukumpulkan kembali mood-ku untuk menulis. Aku bertekad harus bisa, harus selesai tepat pada waktunya, harus dikirim, harus buktikan kepada Thia kalau menulis itu bukan penghalang. Apalagi kalau menulis sudah jadi "passion". Semangat boleh turun sejenak, tapi harus segera bangkit lagi. Semangaaat ...!
Hari kedua menulis naskahku, aku cuma dapat 8 halaman. Baru masuk bab 3 dengan total yang sudah kutulis 12 halaman. Huhuhu ... masih jauh. Waktu tinggal seminggu lagi, nih!
Alhamdulillah, selalu ada jalan. Pas kebetulan waktu itu Thia, Ariq, dan Arza libur sekolah beberapa hari. Mereka menginap di rumah neneknya. Yes! Aku langsung ngebut menulis. Alhamdulillah dalam dua hari, selesai juga tulisanku itu. Tapi, jumlah halamannya kelebihan. Seluruh naskah tulisanku berjumlah 46 halaman. Wah, harus dipangkas 6 halaman, dong!
Masih ada waktu beberapa hari. Sempat seharian kudiamkan naskahku itu. Aku mengerjakan pekerjaan lain. Keesokan harinya, baru kubuka lagi naskahku, kurapikan sekaligus kuedit dan kubuang paragraf-paragraf yang tidak terlalu penting. Alhamdulillah, selesai. Pas 40 halaman jadinya. Lega luar biasa. Kutunjukkan sama Thia dan kuminta untuk membaca sekaligus mengoreksi tulisanku. Ekspresi Thia datar saja. Cuma bilang, "Bagus."
Sudah, gitu doang? Enggak ada komentar lainnya? Hiyaaa ... gemas, kan, jadinya. >.<
Tapi enggak apa-apalah. Yang penting aku sudah membuktikan kalau aku bisa menyelesaikan naskahku. Aku bisa memenuhi targetku. Aku juga bisa memenuhi janjiku kepada diriku sendiri. Itu semua sekaligus pembuktian kepada Thia kalau aku enggak cuma ngomong. Ada tekad, ada target, ada action. Walaupun banyak pekerjaan lain, tapi semua terpenuhi, tuntas, selesai.
Dengan dikirimnya naskahku untuk Lomba KKJD Hunt!, aku sudah berhasil. Paling tidak, aku berhasil membuktikan kepada diriku sendiri dan Thia, kalau aku bisa. Lebih senang lagi, Thia jadi terkompori untuk menulis lagi. Dia mulai terbuka kembali menceritakan segala macam ide yang ada di kepalanya untuk ditulis. Aku sampai terpana mendengar cerita-cerita Thia. Tujuanku yang kedua tercapai. Thia mulai tumbuh semangatnya untuk menulis kembali. Alhamdulillah.
Ya, ini usahaku yang paling keras buat menyemangati Thia untuk kembali menulis. Seandainya Thia memilih untuk tidak "menulis" lagi, ya tidak apa-apa. Aku akan support apa pun kemauan Thia. Salah satu upayaku terhadap Thia adalah mengikutkannya ke acara "Public Speaking for Teens" yang dibimbing oleh Pak Jamil Azzaini. Selama 3 hari 2 malam, para peserta diajak membuka diri dan di-support untuk tampil percaya diri. Mereka juga diajak merancang masa depan sesuai passion mereka. Di hari terakhir, para peserta mempresentasikan 4ON mereka, yaitu VisiON, ActiON, PassiON, dan CollaboratiON dalam bentuk life plan.
Pada presentasinya, Thia mengungkapkan semuanya, mengungkapkan 4ON miliknya. Satu yang kucatat, Thia ingin terus menulis. Dia ingin karyanya bisa difilmkan. Dia juga ingin masuk kuliah jurusan Psikologi di Universitas Indonesia. Thia menyampaikannya dengan penuh semangat. Dia begitu lepas menguraikan semua kemauan, impian, dan cita-citanya. Aku sampai merinding dan meneteskan air mata mendengarnya. Semoga apa yang menjadi 4ON-mu tercapai ya, Sayang. Pasti bisa! Dengan usaha dan doa, Insya Allah bisa. Semuanya akan tercapai. Aamiin.
Tidak hanya itu, Thia menjadi peserta terbaik di kelompoknya. Kak Nefri, mentor di kelompok Thia bilang, "Selain Thia sudah terbiasa tampil di depan umum, Thia juga merumuskan life plan-nya dengan sangat bagus. Thia juga bisa membumi dan berbaur dengan teman-temannya tanpa ada jarak, mengingat prestasi Thia yang sudah mengeluarkan banyak buku. Itu yang paling sulit. Kemampuan Thia untuk memahami lingkungan, kemampuan Thia untuk mengerti teman-temannya, bagaimana dia bersikap, dengan segala kelebihannya, dia mampu untuk merendahkan hatinya. Seorang yang hebat adalah orang yang rendah hati, yang mau menerima masukan."
Alhamdulillah, tetap rendah hati, ya, Sayang.
Pfiuuuh ... jadi melantur ke mana-mana, ya? Hehehe ....
Ya, tapi begitulah ceritanya. Semua cerita yang berada di balik naskah KKJD Hunt! yang kutulis dan kukirim. Alhamdulillah, sekali lagi rasa syukur kupanjatkan kepada Allah Swt.
Oh, ya, dari sekian banyak buku yang telah kutulis, naskahku ini akan menjadi novel perdanaku. Butuh perjalanan panjang hingga aku mempunyai novel sendiri. Banyak pelajaran yang kuterima. Dulu, aku pernah melepaskan hakku terhadap janji penerbitan sebuah novel. Aku ikhlas Lillahi Ta'ala. Tidak ada dendam dan tuntutan dariku. Tidak ada. Aku hanya percaya, itulah jalan Allah. Saat itu, belum waktunya aku mempunyai karya berupa novel sendiri. Selanjutnya, aku tetap menulis dan belajar editing. Tak disangka, aku kemudian menjadi editor cerita anak bersama dua teman sesama penulis (Mbak Saptorini dan Mbak Ridha Anwar). Sekarang, sudah masuk tahun ketiga kami menjadi editor cerita anak di penerbit besar di Bandung. Dari sini, aku banyak belajar. Dengan menjadi editor cerita anak, aku banyak berinteraksi dengan anak-anak, banyak membaca tulisan mereka, hingga aku tahu gaya tulisan mereka.
Ya, aku tidak pernah menyesali semua jalan yang telah Allah gariskan kepadaku. Semua pasti ada hikmahnya. Di akhir perjuangan, pasti ada hadiah cantik yang tersedia. Sudah berulang kali aku membuktikannya. Semua yang kujalani ini mengalir, tanpa dicari-cari.
Sepertinya, aku harus mengakhiri tulisanku ini. Kalau enggak, yakin, deh, bakal cerita ke mana-mana. Ini saja sudah kepanjangan, sudah enggak fokus lagi ceritanya. Hehehe ....
Yang jelas, aku berusaha berbuat segalanya yag terbaik ... untuk keluargaku, untuk pekerjaanku, dan untuk keseluruhan dalam hidupku. Ikhtiar, iklas, dan doa. Insya Allah semuanya akan dilancarkan dan dimudahkan. Aamiin aamiin ya rabbal 'alamiin. ^_^
Perjuangan selalu berbuah manis mbak hehehe. kalau baca cerita Thia jadi inget dulu jamannya kecil sering ikutan lomba di majalah bikin puisi wkwkwkwk, dulu pernah dimuat di majalah mentari lha kok lupa sekarang dimana wkwkwkwk. semangat terus mbak
BalasHapus