Rabu, 26 September 2012

[Tulisan Saya] Pengirim SMS Misterius

Cerita Bersambung


PENGIRIM SMS MISTERIUS
Shinta Handini

#Bagian 1
Nadia kesal. Pagi ini dia kembali mendapat SMS dari nomor yang sama. Tidak ada nama pengirimnya. Pesannya sih, biasa saja. Cuma mengucapkan: “Selamat beraktifitas, Nadia. Semoga hari ini menyenangkan”. Lalu diakhiri dengan emoticon senyum.
Pagi ini adalah hari keempat Nadia menerima SMS yang sama. Waktu pertama kali menerima SMS tersebut, Nadia membalasnya dengan sukacita. Dia mengucapkan terima kasih dan menanyakan nama pengirimnya. Tidak ada balasan. Hingga kemarin pagi, Nadia masih membalasnya dengan kalimat-kalimat yang ramah. Namun pagi ini Nadia tidak membalasnya. Percuma saja, pikirnya, pasti tidak akan dibalas lagi.
“Nadia, lekas sarapan. Nanti kamu terlambat ke sekolah.” Terdengar panggilan Ibu dari ruang makan.
Nadia cepat-cepat menyisir rambut dan membedaki mukanya. Setelah itu menuruti ibu untuk sarapan.
Seperti biasa Nadia lebih memilih berjalan kaki ke sekolah daripada ikut mobil ayahnya. Alasan Nadia karena dia bisa menikmati udara pagi yang masih segar. Selain itu katanya, sekalian olahraga. Jalan pagi bisa membuat badan menjadi sehat.
“Nadia berangkat sekolah dulu, Ayah ... Ibu ....” Nadia mencium tangan keduanya.
“Iya, hati-hati di jalan,” pesan Ibu.
Nadia menjemput Dizka, teman sekelasnya. Rumahnya hanya berbeda satu blok dengan rumah Nadia.
“Dizka ... Dizka ...,” panggil Nadia dari luar pagar rumah Dizka.
“Iya, sebentar! Aku pakai sepatu dulu, ya! Kamu masuk saja,” balas Dizka dari dalam rumahnya.
Seperti biasa, Nadia lebih memilih untuk menunggu di luar rumah Dizka. Nadia senang melihat-lihat sekitarnya. Di seberang rumah Dizka ada taman. Kalau pagi hari seperti ini, suasana terlihat ramai. Banyak orang tua sebaya kakek dan nenek Nadia yang berolahraga. Ada juga ibu-ibu muda yang mengajak anak balitanya yang belum bersekolah bermain-main di taman.
Tiba-tiba mata Nadia tertuju ke rumah di sebelah rumah Dizka. Ada yang berbeda di sana. Rumah baru itu sepertinya sudah dihuni. Nadia sempat tertegun. Tadi sekelabat dia melihat ada seseorang di atas balkon.
“Hai!”
Nadia terkejut.
“Kok, kamu enggak pernah mau masuk, sih?” Tiba-tiba saja Dizka sudah muncul di hadapannya.
“Aku lebih senang menunggumu di sini. Asyik melihat kegiatan banyak orang di taman itu!”
“Ya, sudah. Yuk, kita berangkat.”
Nadia mengangguk. Sebelum mengikuti langkah Dizka, kembali Nadia menoleh ke arah rumah tadi. Nadia ingin memastikan penglihatannya. Tapi rumah itu tetap sunyi. Ah, mungkin aku salah lihat, batin Nadia.
***


#Bagian 2
“Sms ini lagi. Siapa sih, dia?” Nadia menggerutu. Seperti biasa, sms yang sama muncul di layar ponselnya. Kali ini dengan rasa kesal, Nadia membalas sms tersebut.
Kamu siapa, sih? Kalau berani, tunjukkan dirimu!
SEND!
Tidak berapa lama, muncul balasan di layar ponsel Nadia.
Boleh! Aku berada di sekitar Taman Dahlia pagi ini.
“Taman Dahlia? Itu kan taman yang berada di seberang rumah Dizka. Hm, siapa takut,” gumam Nadia.
Oke! Taman itu di seberang rumah temanku. Aku biasa menjemputnya untuk berangkat bersama ke sekolah. Aku akan datang lebih pagi.
Nadia kembali menekan tombol SEND. Terkirim.
Bergegas Nadia bangun dan mandi. Hampir saja Nadia melupakan sarapannya. Nadia tidak sabar. Dia ingin cepat-cepat mengetahui siapa pengirim sms yang setiap pagi mengirimkan pesan ke ponselnya. Pengirim sms misterius.
Pagi ini, selain menjemput Dizka untuk berangkat bersama ke sekolah, Nadia mempunyai misi yang lain. Apalagi kalau bukan untuk bertemu dengan pengirim sms misterius itu.
“Dizka ... Dizka ....” Seperti biasa Nadia memanggil sahabatnya itu untuk memberitahukan kehadirannya.
“Ya, ampun, Nadia. Pagi banget! Aku baru selesai mandi. Tunggu ya!” seru Dizka terkejut. “Eh, masuk dulu, deh! Kamu ikut sarapan, yuk!”
“Aku sudah sarapan. Aku sengaja lebih pagi karena mau ke taman dulu. Aku tunggu di sana ya!”
Tanpa menunggu jawaban dari Dizka, Nadia segera menyeberang menuju taman.
Mana dia? ucap Nadia dalam hati. Nadia celingak-celinguk mencari. Dia memperhatikan satu per satu orang yang berada di taman itu. Siapa tahu ada orang yang mengenali dirinya. Dari sms-sms yang diterimanya setiap pagi, Nadia yakin kalau pengirim misterius itu mengenalinya. Tapi sudah 15 menit menunggu, belum juga ada tanda-tanda si pengirim sms misterius itu menyapanya.
“Di mana dia?” Nadia masih bersabar. “Uh, sayangnya ke sekolah tidak boleh membawa ponsel. Sekarang aku jadi tidak bisa mengirim pesan ke pengirim sms misterius itu.”
Nadia memutuskan untuk mengelilingi taman. Tetapi tetap tidak ada tanda-tanda kemunculan pengirim sms misterius itu. Nadia kesal. Pengirim sms misterius itu telah mempermainkannya.
“Nadia ... Nadia ....”
Nadia menoleh. Dari kejauhan Dizka memanggil sambil melambaikan tangannya. Nadia berjalan mendekati Dizka.
“Sudah? Yuk, berangkat!” ajak Nadia dengan nada jengkel.
“Nadia, kamu marah? Maaf ya, kamu sudah lama menungguku.”
“Eh ... bukan! Enggak, kok! Aku enggak marah sama kamu. Aku cuma jengkel sama seseorang.”
“Seseorang? Siapa?” tanya Dizka.
“Nantilah aku ceritakan. Sekarang kita berangkat ke sekolah. Takut telat!”
“Yuk! Tapi kamu cerita ya?”
Nadia mengangguk. Sekali lagi Nadia melihat ke sekeliling taman. Dia menghela napas dan berjalan keluar taman. Dizka mengikutinya.
***

# Bagian 3
“Hai, yuk, berangkat!” ajak Dizka.
Nadia ternganga melihat Dizka yang sudah siap. Biasanya, setiap kali dijemput, Dizka pasti belum siap. “Tumben kamu sudah siap.”
“Aku penasaran sama ceritamu kemarin.” Dizka berbicara dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Bagaimana? Pengirim sms misterius itu masih mengirim pesan-pesannya ke ponselmu?
Nadia menghela napas. “Pagi ini dia tidak mengirimkan sms-nya,” katanya dengan nada sedikit kecewa. Tidak bisa disangkal, sapaan dari pengirim sms misterius yang tiap pagi diterima Nadia telah menjadi kebiasaan baru yang menyenangkan. Ada rasa kehilangan saat pesan itu tidak diterimanya.
“Kenapa?”
“Aku enggak tahu. Mungkin dia marah kepadaku.”
“Marah sama kamu? Memangnya kamu sudah berbuat apa sama dia? “
“Aku kemarin kesal, karena dia mempermainkanku. Katanya dia berada di sekitar taman, ternyata tidak ada. Lalu aku mengirim sms kepadanya. Aku bilang: ‘Kamu pembohong!’. Dia tidak membalasnya. Bahkan sms yang dikirimkannya tiap pagi juga enggak ada.”
“Hm, ya jelas kamu kesal. Aku juga pasti kesal kalau dipermainkan seperti itu. Ya sudah, kita lihat besok pagi. Apa dia akan mengirim sms-nya lagi?”
Nadia terdiam.
“Eh, siapa tahu dia sekarang ada di taman. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah. Kita ke taman dulu saja, yuk!” Dizka menarik tangan Nadia, mengajaknya menuju taman di seberang rumahnya.
Tiba-tiba .... BRAK!
“Aduh!” Dizka menjerit kesakitan. Kakinya menabrak sebuah kursi roda.
“Maaf, Dizka. Kamu tidak apa-apa?” Gadis yang duduk di kursi roda itu bertanya dengan cemas.
“Eh, Mayra. Aku yang salah karena tidak memperhatikan jalan. Aku tidak apa-apa,” jawab Dizka dengan mimik meringis.
“Kakimu sedikit lebam.” Gadis di kursi roda yang bernama Mayra itu memperhatikan kaki Dizka. “Mungkin kamu mau mampir ke rumahku. Aku punya obat yang bisa mengurangi rasa sakitnya.”
Dizka melihat ke arah Nadia, meminta pendapatnya.
“Sepertinya memang harus diobati,” ucap Nadia. “Lumayan lebamnya. Pasti rasanya nyut-nyutan.”
“Iya, sih,” jawab Dizka masih meringis.
Nadia melirik jam tangan birunya. Masih banyak waktu, ucapnya dalam hati.
“Eh, iya, Nadia. Kenalkan, ini Mayra, tetangga baruku. Itu, rumahnya persis di sebelah rumahku.” Dizka menunjuk ke sebuah rumah bercat biru.
Nadia terkesiap. Berarti benar rumah baru di sebelah rumah Dizka itu sudah ditempati.
 Nadia dan Mayra berjabat tangan sambil menyebutkan nama masing-masing.
“Yuk, sekarang kita ke rumahku,” ajak Mayra.
Nadia dan Dizka mengikuti Mayra yang berjalan dengan mengayuh kursi roda menuju rumahnya.
***

# Bagian 4
Rumah Mayra bagus sekali. Warna dinding dan perabotannya didominasi oleh biru dan putih. Nadia suka sekali, karena dia penggemar warna biru.
“Ayah dan Bundaku sudah pergi ke kantor. Tinggal aku dan Bik Ninis. Sebentar lagi Bu Dhea, guru pribadiku, datang.” Mayra menjelaskan tanpa diminta.
“Jadi, kamu enggak sekolah?” tanya Dizka heran. Dia baru mengetahui hal itu.
Nadia memandang Mayra dengan pertanyaan yang serupa.
Mayra menggeleng. “Aku capek menjadi bahan ejekan teman-teman di sekolah karena kakiku yang cacat. Aku sedih dan malu. Sedikit sekali yang mau berteman dengan anak cacat seperti aku. Akhirnya aku minta untuk home scholling, belajar di rumah dengan guru pribadi.”
Nadia dan Dizka saling berpandangan.
“Ini obatnya.” Mayra mengangsurkan sebotol minyak gosok kepada Dizka.
Setelah mengoleskan ke lebam di kakinya dan berterima kasih, Dizka pamit.
“Nanti kami akan ke sini lagi,” janji Nadia. “Boleh, kan?”
“Tentu boleh!” Dizka yang mewakili Mayra menjawab pertanyaan Nadia.
Mayra tertawa dan mengangguk-angguk senang. Dia mengantarkan kedua temannya menuju pintu rumah.
Tiba-tiba, Nadia berhenti saat melewati lemari kecil. “Ini seperti buku catatan kegiatanku yang hilang!” Nadia meraih sebuah buku kecil bersampul biru muda. “Iya, benar! Ini bukuku,” katanya setelah memeriksa buku tersebut. “Kenapa bisa ada di kamu?” Nadia memandang ke arah Mayra.
Mayra menjadi salah tingkah. Dia menundukkan kepalanya. “Maafkan aku. Buku itu kutemukan di depan pagar rumah Dizka. Aku tahu kalau itu bukumu, karena aku selalu memperhatikan kalian dari balik jendela rumahku. Tapi aku ragu untuk mengembalikannya kepadamu. Aku takut kalau kamu sama seperti kebanyakan teman-temanku sebelumnya, mengejek kakiku yang cacat.”
“Aku tidak pernah mengejekmu,” potong Dizka.
“Iya, kamu teman yang baik. Kamu salah satu yang mau jadi temanku.”
“Aku juga tidak!” sambar Nadia.
“Iya, aku juga yakin begitu setelah memperhatikanmu beberapa lama.”
“Lalu kenapa kamu tidak juga mengembalikannya?” tanya Nadia.
“Aku malu karena telah menahannya terlalu lama. Lagipula ....”
“Lagipula apa?” kejar Nadia.
Mayra terdiam sesaat. “Lagipula ... aku senang mengirimkan pesan via sms kepadamu setiap pagi. Aku melihat ada nomor ponselmu di buku itu.”
“Jadiii ...?” Nadia terkejut. Dizka pun sama terkejutnya. Mereka berdua menatap ke arah Mayra, kemudian saling berpandangan. Tiba-tiba keduanya tertawa terbahak-bahak. Mayra menjadi heran dan bingung.
“Kenapa?”
“Kamu tahu, kamu telah berhasil membuatku kebingungan. Kemarin pun kamu telah mengerjai aku dengan menyuruhku ke Taman Dahlia.” Nadia menjelaskan sambil berusaha mengerem tertawanya.
“Maafkan aku lagi. Aku kemarin melihatmu. Tetapi ragu untuk mendekatimu. Pas aku bertekad untuk menemuimu, kulihat Dizka sudah datang dan mengajakmu berangkat ke sekolah. Pagi ini aku berniat untuk menemuimu. Aku terburu-buru, hingga terjadi tabrakan tadi.”
“Akhirnyaaa ... terbuka sudah identitas pengirim sms misterius,” kata Dizka.
“Masihkah kalian mau menjadi temanku?” tanya Mayra ragu.
“Tentu saja!” jawab Nadia dan Dizka berbarengan.
“Kalian memang baik.” Mayra tersenyum senang.
Baiklah, kami harus ke sekolah,” pamit Nadia. “Pikirkan, mungkin kamu mau bersekolah di sekolah kami. Oh ya, jangan jadi pengirim sms misterius lagi.”
Mayra tertawa. Dia melambaikan tangannya kepada Nadia dan Dizka. Kini dia mempunyai dua teman baru. Semoga akan bertambah lagi teman barunya yang baik seperti mereka.
*****

Dimuat di KORAN BERANI
2-8 Juli 2012 / Tahun VI / No. 26
9-15 Juli 2012 / Tahun VI / No. 27
16-22 Juli 2012 / Tahun VI / No. 28
23-29 Juli 2012 / Tahun VI / No. 29

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar :

Posting Komentar