Cerita Bersambung
PENGIRIM SMS MISTERIUS
Shinta Handini
#Bagian 1
Nadia kesal. Pagi ini dia kembali
mendapat SMS dari nomor yang sama. Tidak ada nama pengirimnya. Pesannya sih,
biasa saja. Cuma mengucapkan: “Selamat beraktifitas, Nadia. Semoga hari ini
menyenangkan”. Lalu diakhiri dengan emoticon
senyum.
Pagi ini adalah hari keempat Nadia
menerima SMS yang sama. Waktu pertama kali menerima SMS tersebut, Nadia
membalasnya dengan sukacita. Dia mengucapkan terima kasih dan menanyakan nama
pengirimnya. Tidak ada balasan. Hingga kemarin pagi, Nadia masih membalasnya
dengan kalimat-kalimat yang ramah. Namun pagi ini Nadia tidak membalasnya. Percuma saja, pikirnya, pasti tidak akan dibalas lagi.
“Nadia, lekas sarapan. Nanti kamu
terlambat ke sekolah.” Terdengar panggilan Ibu dari ruang makan.
Nadia cepat-cepat menyisir rambut dan
membedaki mukanya. Setelah itu menuruti ibu untuk sarapan.
Seperti biasa Nadia lebih memilih
berjalan kaki ke sekolah daripada ikut mobil ayahnya. Alasan Nadia karena dia
bisa menikmati udara pagi yang masih segar. Selain itu katanya, sekalian
olahraga. Jalan pagi bisa membuat badan menjadi sehat.
“Nadia berangkat sekolah dulu, Ayah ...
Ibu ....” Nadia mencium tangan keduanya.
“Iya, hati-hati di jalan,” pesan Ibu.
Nadia menjemput Dizka, teman sekelasnya.
Rumahnya hanya berbeda satu blok dengan rumah Nadia.
“Dizka ... Dizka ...,” panggil Nadia dari
luar pagar rumah Dizka.
“Iya, sebentar! Aku pakai sepatu dulu,
ya! Kamu masuk saja,” balas Dizka dari dalam rumahnya.
Seperti biasa, Nadia lebih memilih untuk
menunggu di luar rumah Dizka. Nadia senang melihat-lihat sekitarnya. Di
seberang rumah Dizka ada taman. Kalau pagi hari seperti ini, suasana terlihat
ramai. Banyak orang tua sebaya kakek dan nenek Nadia yang berolahraga. Ada juga
ibu-ibu muda yang mengajak anak balitanya yang belum bersekolah bermain-main di
taman.
Tiba-tiba mata Nadia tertuju ke rumah di
sebelah rumah Dizka. Ada yang berbeda di sana. Rumah baru itu sepertinya sudah
dihuni. Nadia sempat tertegun. Tadi sekelabat dia melihat ada seseorang di atas
balkon.
“Hai!”
Nadia terkejut.
“Kok, kamu enggak pernah mau masuk, sih?”
Tiba-tiba saja Dizka sudah muncul di hadapannya.
“Aku lebih senang menunggumu di sini.
Asyik melihat kegiatan banyak orang di taman itu!”
“Ya, sudah. Yuk, kita berangkat.”
Nadia mengangguk. Sebelum mengikuti
langkah Dizka, kembali Nadia menoleh ke arah rumah tadi. Nadia ingin memastikan
penglihatannya. Tapi rumah itu tetap sunyi. Ah,
mungkin aku salah lihat, batin Nadia.
***
#Bagian 2
“Sms ini lagi. Siapa sih, dia?” Nadia
menggerutu. Seperti biasa, sms yang sama muncul di layar ponselnya. Kali ini
dengan rasa kesal, Nadia membalas sms tersebut.
Kamu
siapa, sih? Kalau berani, tunjukkan dirimu!
SEND!
Tidak berapa lama, muncul balasan di
layar ponsel Nadia.
Boleh!
Aku berada di sekitar Taman Dahlia pagi ini.
“Taman Dahlia? Itu kan taman yang berada
di seberang rumah Dizka. Hm, siapa takut,” gumam Nadia.
Oke!
Taman itu di seberang rumah temanku. Aku biasa menjemputnya untuk berangkat
bersama ke sekolah. Aku akan datang lebih pagi.
Nadia kembali menekan tombol SEND.
Terkirim.
Bergegas Nadia bangun dan mandi. Hampir
saja Nadia melupakan sarapannya. Nadia tidak sabar. Dia ingin cepat-cepat
mengetahui siapa pengirim sms yang setiap pagi mengirimkan pesan ke ponselnya.
Pengirim sms misterius.
Pagi ini, selain menjemput Dizka untuk
berangkat bersama ke sekolah, Nadia mempunyai misi yang lain. Apalagi kalau
bukan untuk bertemu dengan pengirim sms misterius itu.
“Dizka ... Dizka ....” Seperti biasa
Nadia memanggil sahabatnya itu untuk memberitahukan kehadirannya.
“Ya, ampun, Nadia. Pagi banget! Aku baru
selesai mandi. Tunggu ya!” seru Dizka terkejut. “Eh, masuk dulu, deh! Kamu ikut
sarapan, yuk!”
“Aku sudah sarapan. Aku sengaja lebih
pagi karena mau ke taman dulu. Aku tunggu di sana ya!”
Tanpa menunggu jawaban dari Dizka, Nadia
segera menyeberang menuju taman.
Mana
dia? ucap Nadia dalam
hati. Nadia celingak-celinguk mencari. Dia memperhatikan satu per satu orang
yang berada di taman itu. Siapa tahu ada orang yang mengenali dirinya. Dari
sms-sms yang diterimanya setiap pagi, Nadia yakin kalau pengirim misterius itu
mengenalinya. Tapi sudah 15 menit menunggu, belum juga ada tanda-tanda si
pengirim sms misterius itu menyapanya.
“Di mana dia?” Nadia masih bersabar. “Uh,
sayangnya ke sekolah tidak boleh membawa ponsel. Sekarang aku jadi tidak bisa
mengirim pesan ke pengirim sms misterius itu.”
Nadia memutuskan untuk mengelilingi
taman. Tetapi tetap tidak ada tanda-tanda kemunculan pengirim sms misterius
itu. Nadia kesal. Pengirim sms misterius itu telah mempermainkannya.
“Nadia ... Nadia ....”
Nadia menoleh. Dari kejauhan Dizka
memanggil sambil melambaikan tangannya. Nadia berjalan mendekati Dizka.
“Sudah? Yuk, berangkat!” ajak Nadia
dengan nada jengkel.
“Nadia, kamu marah? Maaf ya, kamu sudah
lama menungguku.”
“Eh ... bukan! Enggak, kok! Aku enggak
marah sama kamu. Aku cuma jengkel sama seseorang.”
“Seseorang? Siapa?” tanya Dizka.
“Nantilah aku ceritakan. Sekarang kita
berangkat ke sekolah. Takut telat!”
“Yuk! Tapi kamu cerita ya?”
Nadia mengangguk. Sekali lagi Nadia
melihat ke sekeliling taman. Dia menghela napas dan berjalan keluar taman.
Dizka mengikutinya.
***
# Bagian 3
“Hai, yuk, berangkat!” ajak Dizka.
Nadia ternganga melihat Dizka yang sudah
siap. Biasanya, setiap kali dijemput, Dizka pasti belum siap. “Tumben kamu sudah
siap.”
“Aku penasaran sama ceritamu kemarin.”
Dizka berbicara dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Bagaimana? Pengirim sms
misterius itu masih mengirim pesan-pesannya ke ponselmu?
Nadia menghela napas. “Pagi ini dia tidak
mengirimkan sms-nya,” katanya dengan nada sedikit kecewa. Tidak bisa disangkal,
sapaan dari pengirim sms misterius yang tiap pagi diterima Nadia telah menjadi
kebiasaan baru yang menyenangkan. Ada rasa kehilangan saat pesan itu tidak
diterimanya.
“Kenapa?”
“Aku enggak tahu. Mungkin dia marah
kepadaku.”
“Marah sama kamu? Memangnya kamu sudah
berbuat apa sama dia? “
“Aku kemarin kesal, karena dia
mempermainkanku. Katanya dia berada di sekitar taman, ternyata tidak ada. Lalu
aku mengirim sms kepadanya. Aku bilang: ‘Kamu pembohong!’. Dia tidak
membalasnya. Bahkan sms yang dikirimkannya tiap pagi juga enggak ada.”
“Hm, ya jelas kamu kesal. Aku juga pasti
kesal kalau dipermainkan seperti itu. Ya sudah, kita lihat besok pagi. Apa dia
akan mengirim sms-nya lagi?”
Nadia terdiam.
“Eh, siapa tahu dia sekarang ada di taman.
Masih terlalu pagi untuk berangkat ke sekolah. Kita ke taman dulu saja, yuk!”
Dizka menarik tangan Nadia, mengajaknya menuju taman di seberang rumahnya.
Tiba-tiba .... BRAK!
“Aduh!” Dizka menjerit kesakitan. Kakinya
menabrak sebuah kursi roda.
“Maaf, Dizka. Kamu tidak apa-apa?” Gadis
yang duduk di kursi roda itu bertanya dengan cemas.
“Eh, Mayra. Aku yang salah karena tidak
memperhatikan jalan. Aku tidak apa-apa,” jawab Dizka dengan mimik meringis.
“Kakimu sedikit lebam.” Gadis di kursi
roda yang bernama Mayra itu memperhatikan kaki Dizka. “Mungkin kamu mau mampir
ke rumahku. Aku punya obat yang bisa mengurangi rasa sakitnya.”
Dizka melihat ke arah Nadia, meminta
pendapatnya.
“Sepertinya memang harus diobati,” ucap
Nadia. “Lumayan lebamnya. Pasti rasanya nyut-nyutan.”
“Iya, sih,” jawab Dizka masih meringis.
Nadia melirik jam tangan birunya. Masih banyak waktu, ucapnya dalam hati.
“Eh, iya, Nadia. Kenalkan, ini Mayra,
tetangga baruku. Itu, rumahnya persis di sebelah rumahku.” Dizka menunjuk ke
sebuah rumah bercat biru.
Nadia terkesiap. Berarti benar rumah baru
di sebelah rumah Dizka itu sudah ditempati.
Nadia dan Mayra berjabat tangan sambil
menyebutkan nama masing-masing.
“Yuk, sekarang kita ke rumahku,” ajak
Mayra.
Nadia dan Dizka mengikuti Mayra yang
berjalan dengan mengayuh kursi roda menuju rumahnya.
***
# Bagian 4
Rumah Mayra bagus sekali. Warna dinding dan
perabotannya didominasi oleh biru dan putih. Nadia suka sekali, karena dia
penggemar warna biru.
“Ayah dan Bundaku sudah pergi ke kantor. Tinggal
aku dan Bik Ninis. Sebentar lagi Bu Dhea, guru pribadiku, datang.” Mayra
menjelaskan tanpa diminta.
“Jadi, kamu enggak sekolah?” tanya Dizka
heran. Dia baru mengetahui hal itu.
Nadia memandang Mayra dengan pertanyaan
yang serupa.
Mayra menggeleng. “Aku capek menjadi
bahan ejekan teman-teman di sekolah karena kakiku yang cacat. Aku sedih dan
malu. Sedikit sekali yang mau berteman dengan anak cacat seperti aku. Akhirnya
aku minta untuk home scholling,
belajar di rumah dengan guru pribadi.”
Nadia dan Dizka saling berpandangan.
“Ini obatnya.” Mayra mengangsurkan
sebotol minyak gosok kepada Dizka.
Setelah mengoleskan ke lebam di kakinya
dan berterima kasih, Dizka pamit.
“Nanti kami akan ke sini lagi,” janji
Nadia. “Boleh, kan?”
“Tentu boleh!” Dizka yang mewakili Mayra
menjawab pertanyaan Nadia.
Mayra tertawa dan mengangguk-angguk
senang. Dia mengantarkan kedua temannya menuju pintu rumah.
Tiba-tiba, Nadia berhenti saat melewati
lemari kecil. “Ini seperti buku catatan kegiatanku yang hilang!” Nadia meraih
sebuah buku kecil bersampul biru muda. “Iya, benar! Ini bukuku,” katanya
setelah memeriksa buku tersebut. “Kenapa bisa ada di kamu?” Nadia memandang ke
arah Mayra.
Mayra menjadi salah tingkah. Dia
menundukkan kepalanya. “Maafkan aku. Buku itu kutemukan di depan pagar rumah Dizka.
Aku tahu kalau itu bukumu, karena aku selalu memperhatikan kalian dari balik
jendela rumahku. Tapi aku ragu untuk mengembalikannya kepadamu. Aku takut kalau
kamu sama seperti kebanyakan teman-temanku sebelumnya, mengejek kakiku yang
cacat.”
“Aku tidak pernah mengejekmu,” potong
Dizka.
“Iya, kamu teman yang baik. Kamu salah
satu yang mau jadi temanku.”
“Aku juga tidak!” sambar Nadia.
“Iya, aku juga yakin begitu setelah
memperhatikanmu beberapa lama.”
“Lalu kenapa kamu tidak juga
mengembalikannya?” tanya Nadia.
“Aku malu karena telah menahannya terlalu
lama. Lagipula ....”
“Lagipula apa?” kejar Nadia.
Mayra terdiam sesaat. “Lagipula ... aku
senang mengirimkan pesan via sms kepadamu setiap pagi. Aku melihat ada nomor
ponselmu di buku itu.”
“Jadiii ...?” Nadia terkejut. Dizka pun
sama terkejutnya. Mereka berdua menatap ke arah Mayra, kemudian saling
berpandangan. Tiba-tiba keduanya tertawa terbahak-bahak. Mayra menjadi heran
dan bingung.
“Kenapa?”
“Kamu tahu, kamu telah berhasil membuatku
kebingungan. Kemarin pun kamu telah mengerjai aku dengan menyuruhku ke Taman
Dahlia.” Nadia menjelaskan sambil berusaha mengerem tertawanya.
“Maafkan aku lagi. Aku kemarin melihatmu.
Tetapi ragu untuk mendekatimu. Pas aku bertekad untuk menemuimu, kulihat Dizka
sudah datang dan mengajakmu berangkat ke sekolah. Pagi ini aku berniat untuk
menemuimu. Aku terburu-buru, hingga terjadi tabrakan tadi.”
“Akhirnyaaa ... terbuka sudah identitas
pengirim sms misterius,” kata Dizka.
“Masihkah kalian mau menjadi temanku?”
tanya Mayra ragu.
“Tentu saja!” jawab Nadia dan Dizka
berbarengan.
“Kalian memang baik.” Mayra tersenyum
senang.
Baiklah, kami harus ke sekolah,” pamit
Nadia. “Pikirkan, mungkin kamu mau bersekolah di sekolah kami. Oh ya, jangan
jadi pengirim sms misterius lagi.”
Mayra tertawa. Dia melambaikan tangannya
kepada Nadia dan Dizka. Kini dia mempunyai dua teman baru. Semoga akan
bertambah lagi teman barunya yang baik seperti mereka.
*****
Dimuat di KORAN BERANI
2-8 Juli 2012 / Tahun VI / No. 26
9-15 Juli 2012 / Tahun VI / No. 27
16-22 Juli 2012 / Tahun VI / No. 28
23-29 Juli 2012 / Tahun VI / No. 29
9-15 Juli 2012 / Tahun VI / No. 27
16-22 Juli 2012 / Tahun VI / No. 28
23-29 Juli 2012 / Tahun VI / No. 29
0 komentar :
Posting Komentar