Rabu, 26 September 2012

[Tulisan Saya] Abang Bajaj Misterius

Cerita Bersambung


ABANG BAJAJ MISTERIUS
Shinta Handini

#Bagian 1

“Naik bajaj saja, Kak … biar cepat,” kata Dena memelas. “Aku hari ini ada ulangan Matematika. Kalau telat, Bu Neni bisa enggak ngasih aku ikut ulangan.”
“Iya, deh!” Rida menerima usul adiknya.
Setelah beberapa saat menunggu, ada bajaj yang mendekat.
“Itu ada bajaj!” seru Dena.
Rida menyetop bajaj. Terjadi tawar-menawar. Kata sepakat didapat. Rida dan Dena pun naik.
Semenjak awal Dena memperhatikan si sopir bajaj. Ada yang menarik perhatiannya.
“Psst … Kak,” Dena mendekatkan mulutnya ke telinga Rida. “Sopir bajajnya seram, ya?” tanyanya dengan suara berbisik.
“Ah, kamu ada-ada saja.” Rida berusaha menepis rasa takut adiknya.
“Coba kakak perhatikan, deh!” Dena masih berkata dengan suara berbisik. “Mukanya tertutup topi. Sepertinya dia sengaja berbuat itu. Pas tawar-menawar ongkos bajaj, dia berkata sambil menunduk. Aneh, kan?”
“Hm, mungkin dia malu,” Rida menenangkan adiknya.
“Sepertinya bukan, Aku pikir ada sesuatu yang disembunyikan, atau …” mata Dena tiba-tiba membelalak. “Jangan-jangan dia penjahat yang sedang menyamar.”
Dada Rida tiba-tiba berdetak kencang. Ucapan adiknya membuatnya menjadi takut juga. Tapi Rida tidak mau terlihat oleh Dena.
“Kamu jangan berpikiran buruk seperti itu. Tidak baik!” ujar Rida sambil melihat ke arah jalan. “Nah, kita hampir sampai sekolah.”
Bajaj berhenti di depan gerbang sekolah. Rida dan Dena turun.
“Ini Bang, ongkosnya,” Rida memberikan selembar uang sepuluh ribuan. “Terima kasih, ya.”
Abang bajaj menerima ongkos dari tangan Rida, tanpa berkata sepatah kata pun. Setelah itu dia berlalu dengan mengendarai bajajnya.
***


#Bagian 2

“Kak Rida lihat, kan? Mengucapkan terima kasih saja tidak,” sungut Dena.
“Sudahlah, abang bajajnya mungkin sedang terburu-buru. Yuk, masuk kelas!”
“Sebentar, Kak!” seru Dena. “Mapku mana?”
“Map apa?” tanya Rida.
“Map yang tadi kubawa, yang berisi tugas-tugas Matematika. Kalau tidak dibawa, aku tidak bisa ikut ulangan,” jawab Dena. “Jangan-jangan ….”
“Jangan-jangan apa? Kakak sepertinya tidak melihatmu membawa map.”
“Aku bawa, Kak … dan uang SPP yang tadi diberikan Ibu untuk dibayarkan, kuselipkan di dalam map itu.” Dena sudah hampir menangis.
“Ya,ampun. Kamu ceroboh sekali, Dena! Coba ingat-ingat lagi, di mana kamu terakhir kali meletakkannya. Apa mungkin ketinggalan di rumah?”
“Aku yakin sudah membawanya, Kak … dan aku yakin mapku ketinggalan di bajaj tadi.” Kali ini Dena benar-benar menangis.
“Sudahlah,” Rida menenangkan adiknya. “Nanti kamu bicarakan sama Bu Neni, kejadian yang sebenarnya. Semoga kamu diberi kesempatan untuk menyerahkan tugas-tugas Matematika, besok. Sementara itu kamu boleh tetap ikut ulangan.”
“Tapi … uang SPPnya?” Dena masih terisak.
“Hm, semoga abang bajaj yang mengantarkan kita tadi berbaik hati mau mengembalikannya,” hibur Rida.
“Mana mungkin, Kak? Pasti abang bajaj itu senang karena telah menemukan uang di mapku.”
“Hush, kamu tidak boleh berprasangka buruk seperti itu, Dena!”
“Abang bajaj tadi misterius sekali, Kak … Dia selalu menyembunyikan wajahnya. Dia juga sama sekali tidak ramah pada kita. Itu kenyataan kan?”
“Ya sudah, kalau begitu kamu harus bilang sama ibu. Paling-paling kamu akan dinasihati dulu sebelum kamu diberikan uang penggantinya.”
“Abang bajaj itu pasti penjahat yang sedang menyamar.” Dena masih kesal. Isakannya masih sesekali terdengar.
“Jangan menuduh! Kamu yang salah.” Rida tidak suka dengan sikap adiknya. “Sekarang kita masuk ke kelas. Nanti terlambat.”
Dena menurut. Dia mengikuti kakaknya. Di persimpangan dekat ruang guru, mereka berpisah menuju kelas masing.masing.
***


#Bagian 3

“Bagaimana tadi dengan Bu Neni?” tanya Rida, begitu melihat adiknya keluar dari kelas.
“Aku boleh ikut ulangan. Aku juga diberikan kesempatan untuk menyerahkan tugas-tugas Matematika, besok,” jawab Dena.
“Syukurlah,” ucap Rida. “Yuk, pulang! Sekarang kita naik angkot. Lebih irit.”
Dena menuruti kakaknya. Mereka berdua beriringan menuju halte di seberang sekolah untuk menunggu angkot.
Tiba-tiba …. Ciiit … sebuah bajaj berhenti di hadapan Rida dan Dena.
“Kak Rida, itu kan bajaj kita tadi pagi!” Dena menjerit tertahan. Rida terkejut.
“Ini punya kalian. Tadi pagi tertinggal di bajaj saya.” Sopir bajaj itu menyerahkan sebuah map kepada Rida.
“Eh, terima kasih, Bang …,” ucap Rida sambil melirik ke arah adiknya.
Dena tertuduk malu. Dia merasa bersalah sudah berprasangka buruk terhadap abang bajaj tadi pagi.
“Saya pikir map itu sangat penting. Saya sama sekali tidak membukanya,” kata abang bajaj. Kali ini mukanya diangkat, tidak tertunduk seperti tadi pagi.
Rida dan Dena kembali terkejut. Wajah abang bajaj itu terlihat belang. Sebagian besar kulitnya berwarna putih seperti bekas luka bakar.
“Mukanya kenapa, Bang?” tanya Rida penasaran.
“Setahun yang lalu, saya kecelakaan, Neng. Muka saya terbakar,” jelas abang bajaj. “Saya selalu menutupinya dengan topi. Saya khawatir penumpang saya menjadi ketakutan kalau melihat muka saya seperti ini.”
Dena menggigit bibir bawahnya, dia merasa sangat bersalah. “Maafkan saya, Bang. Saya tadi pagi mengira abang itu penjahat,” ucapnya dengan penuh sesal.
Abang bajaj tertawa. “Tidak apa-apa, Neng,” jawabnya. “Saya permisi dulu.”
“Terima kasih ya, Bang,” ucap Dena lagi.
Abang bajaj itu mengangguk sambil tersenyum. Dia pun pergi dengan mengendarai bajajnya.
“Abang Bajaj itu baik ya, Kak.” Dena masih memandangi kepergiannya.
“Katanya misterius … katanya penjahat ….” Rida menggoda adiknya. Dena tersipu malu. “Bersikap hati-hati boleh, tapi jangan sampai menuduh.” nasihat Rida. Matanya kembali tertuju ke arah jalan. “Eh itu angkotnya. Naik, yuk!”
Rida dan Dena masuk ke dalam angkot. Senyum bahagia tersungging di bibir mereka.
***


Dimuat di KORAN BERANI
24-29 januari 2012 / Tahun VI / No. 3
30 Januari - 5 Februari 2012 / Tahun VI / No. 4
6-12 Februari 2012 / Tahun VI / No. 5

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar :

Posting Komentar